Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada, Kinerja Manufaktur Diramal Minus Kuartal II/2020

Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan mengatakan skenario terburuk yang pasti sektor ini akan tumbuh negatif.
Aktivitas karyawan di salah satu pabrik di Jakarta, Jumat (20/9/2019). Bisnis/Arief Hermawan P
Aktivitas karyawan di salah satu pabrik di Jakarta, Jumat (20/9/2019). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memproyeksi industri manufaktur akan mengalami kontraksi atau tumbuh negatif pada kuartal II/2020 menimbang ketidakpastian berakhirnya pandemi yang telah mengganggu kelangsungan geliat roda ekonomi.

Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan mengatakan skenario terburuk yang pasti sektor ini akan tumbuh negatif.

Pada kuartal I/2020 saja, ketika belum ada kasus Covid-19 dengan segala peraturan dan protokolnya, sektor industri manufaktur hanya tumbuh di kisaran 2 persen secara tahunan.

"Pada kuartal II/2020 ini, industri diproyeksi sudah akan tumbuh negatif. Saya rasa itulah alasan pemerintah ingin segera berdamai dengan Covid-19 sehingga masih ada waktu 1,5 bulan atau pertengahan Mei-Juni 2020 untuk mencegah penurunan kinerja ekonomi yang lebih dalam lagi," katanya kepada Bisnis, Minggu (10/5/2020).

Dengan kurva kasus positif Covid-19 nasional yang belum kunjung mendatar, lanjut Fajar menyebut sudah ada indikasi dari pemerintah agar roda ekonomi kembali berjalan dikhawatirkan justru akan menambah buruk atau bahkan menyebabkan terpaan pandemi lanjutan.

Sisi lain, Kementerian Perindustrian telah melakukan tiga pengelompokan kondisi setiap sektor industri akibat tekanan pandemi virus corona. Pada kelompok moderat hanya satu industri yang bertahan yakni petrokimia.

Sementara itu, kelompok terdampak parah ada industri logam, perlistrikan, semen, keramik, kaca, elektronika, otomotif, karet, mesin, alat berat, galangan kapal termasuk kereta api dan pesawat, tekstil, dan kerajinan.

Adapun kelompok dengan permintaan tinggi diisi oleh industri alat kesehatan termasuk di dalamnya APD dan maker yang juga diproduksi oleh garmen, farmasi dan fitofarmaka, serta makanan dan minuman.

Menurut Fajar, pengelompokan tersebut sudah sangat tepat, sehingga pemerintah akan memiliki skala prioritas dalam melakukan intervensi kebijakan di sektor ini.

"Pastinya kelompok industri yang masuk di kategori suffer [terdampak besar] akan menjadi prioritas utama agar mereka tidak bangkrut dan gulung tikar, sehingga gelombang PHK dalam skala yang besar dapat diminimalisir karena tidak mungkin dihindari," katanya.

Sementara itu, Fajar menilai dengan indikator PMI Manufaktur April 2020 yang berada di angka 27 memang merupakan sinyal yang perlu diantisipasi segera untuk mencegah terjadinya kontraksi yang lebih dalam lagi.

Menurutnya skema fasilitas atau intensif di sektor perpajakan baik pengampunan dan penangguhan pajak, sektor keuangan berupa penangguhan pembayaran kewajiban pada lembaga keuangan, dan ketenagakerjaan berupa insentif BLT atau bansos lainnya kepada pekerja yang dirumahkan sementara juga harus disesuaikan.

Insentif di atas, kata Fajar, merupakan paket lengkap yang perlu diberikan kepada kelompok industri tersebut di atas dengan tingkatan yang berbeda berdasarkan kategori di atas.

"Namun lagi-lagi kelompok industri yang dikategorikan suffer wajib menjadi perhatian khusus untuk diberikan fasilitas tersebut di atas," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper