Brian Chesky, Chief Executive Officer Airbnb, hanya menemukan kekecewaan hari-hari ini. Lantaran pendapatan anjlok, rencana perusahaan marketplace penyewaan kamar, apartemen, dan rumah yang tersebar di berbagai penjuru dunia, melakukan penawaran saham perdana tahun ini menguap di udara.
Perjalanan global yang menyusut akibat pandemi Covid-19 adalah penyebabnya. The Wall Street Journal melaporkan, pada Februari 2020 Airbnb telah merugi US$322 juta, pertama kali sejak sembilan bulan dari tahun lalu, setelah melaporkan laba US$200 juta pada 2018.
“Perlu waktu 12 tahun untuk membangun Airbnb, dan kami kehilangan hampir semuanya hanya dalam empat hingga enam pekan,” begitu kata Chesky dalam wawancara dengan CNBC, tentang kondisi terakhir usahanya yang sempat melesat bak meteor dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan, sepanjang Covid-19 melanda, Chesky harus merumahkan seperempat karyawannya alias 1.900 orang dengan kompensasi minimal 14 kali gaji. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) ini umum terjadi pada perusahaan rintisan di tengah pandemi seperti Uber (27%, 6.700 orang), Agoda (25%, 1.500 orang), dan Tripadvisor (25%, 900 orang), berdasarkan data Layoffs.fyi per 23 Juni 2020.
Di Indonesia, perusahaan rintisan serupa Airbnb, Airy, bahkan telah menutup operasionalnya sejak akhir Mei 2020, karena tak tahan dengan penurunan pendapatan akibat wabah Covid-19 dan merumahkan 70% karyawannya sejak April.
Didirikan pada 2015, Airy memiliki jaringan 2.000 properti dengan lebih dari 30.000 kamar hotel kelas melati.
Pesaing Airy, Oyo dan Reddoorz, juga tengah menghadapi keadaan sulit. Oyo sempat mengalami penurunan pendapatan 50% hingga 60% serta terpaksa harus menerapkan pemotongan gaji dan cuti untuk karyawannya. Adapun, RedDoorz menawarkan cuti sementara dan memberhentikan sebagian kecil karyawan.
Dengan deraan wabah yang belum ketahuan akhirnya hingga hari ini, bisnis hotel yang dijalankan langsung pemiliknya atau oleh operator konvensional maupun melalui perusahaan agregator digital memang merasakan pukulan keras. Ratusan hotel bahkan telah menyatakan kebangkrutan dengan menjual aset untuk membayar tagihan kredit dan biaya operasional.
Pandemi Covid yang melanda 216 negara ini telah menghentikan begitu banyak perjalanan dan berujung pada sepinya pengunjung hotel. Bisnis memang masih berdenyut, tetapi kini lebih banyak dikendalikan dari rumah, work from home.
Airbnb, sebagaimana ribuan perusahaan lain, menghadapi masa depan yang tak pasti. “Turisme yang kami tahu telah selesai. Saya tidak ingin mengatakan bahwa perjalanan juga selesai, namun model yang kami tahu sudah mati dan tak akan kembali,” kata Chesky.
‘Model bisnis telah mati’ dan tak kembali merujuk pada dunia yang sama sekali berubah setelah ini, ketika wabah belum juga bisa dibasmi, bahkan ketika semua telah dalam kendali penuh manusia saat vaksin ditemukan. Semua tak sama, termasuk bisnis Airbnb yang tergolong punya model baru dan mendisrupsi para petahana.
Tahun lalu, kehadiran Airbnb yang memanjakan turisme dengan sewa kamar murah, di tengah kota, dan dekat dengan tujuan wisata seolah akan meruntuhkan bisnis hotel yang tak lagi efisien. Namun, ketika turisme mendadak tak relevan karena orang terpenjara di rumah akibat wabah, Airbnb pun berantakan.
Apapun jenis bisnis Anda, baik rintisan ataupun bukan, tentu tak pernah membayangkan bahwa bencana Covid-19 datang pada masa kita hidup. Apa yang terjadi kelak dengan perusahaan-perusahaan idaman ketika mendadak kehilangan hampir seluruh permintaan pasar.
Siapa yang menduga Grup Astra yang tiap bulan menjual rata-rata 45.000 unit mobil, pada Mei 2020 hanya menerima pesanan 3.000 unit? Ini benar-benar kenyataan sulit, manakala bisnis otomotif Astra adalah pilar dari bisnis turunan lain seperti multifinance, jalan tol hingga kontraktor pertambangan.
PT Kereta Api Indonesia (Persero) hanya meraup pendapatan harian Rp400 juta dari tiket penumpang—biasanya Rp4,5 miliar—ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan pada pertengahan Maret 2020. KAI Bersama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terpaksa harus mengajukan dana talangan kepada pemerintah.
Betapa maskapai penerbangan hari-hari ini kehilangan revenue hingga 80% akibat anjloknya mobilitas manusia kendati pembatasan sosial dilonggarkan. Puluhan maskapai penerbangan dunia dikabarkan mulai melakukan PHK, seperti Qantas Australia yang mengurangi 20% karyawan, setara dengan 6.000 orang.
Teman saya, dua perempuan kakak beradik yang memiliki sembilan outlet salon di berbagai mal mewah di Jakarta, terpaksa merumahkan 200 karyawannya saat pandemi. Mereka tak punya pilihan, sambil berharap prahara ini segera selesai.
Siapa yang mau datang ke salon ketika physical distancing menjadi salah satu cara kunci menjauhi wabah Covid-19. Pun, ketika mal kembali dibuka pada pertengahan Juni 2020, belum banyak konsumen yang mau kembali sehingga kapasitas salon yang telah dikurangi hingga setengah masih kosong melompong.
Jelas sudah, kehidupan normal baru yang kini disiapkan tak bakal mengembalikan bisnis seperti semula. Jika jarak fisik jadi acuan, maka kapasitas berbagai bisnis baik ritel, transportasi, hiburan akan tinggal setengah.
Berbagai sektor bisnis terpaksa harus dibonsai sambil mencari model baru dalam situasi perekonomian dunia yang menghadapi resesi. Sejumlah analis menyebut situasi sekarang khususnya di Indonesia, melebihi situasi krisis 1998. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
***
Dalam kemelut krisis kesehatan yang telah bergeser menjadi krisis ekonomi ini, saya bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Gedung Pakuan, Bandung, Senin 22 Juni 2020. Dengan protokol kesehatan yang ketat, hanya empat orang dari rombongan kami yang bisa diterima di ruang kerja gubernur di sayap kanan gedung berusia lebih dari 1,5 abad tersebut.
Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, membuka percakapan betapa kita sekarang mesti mulai memusatkan perhatian terhadap perekonomian; menggerakkan bisnis. Ini bukan berarti wabah sudah bisa diatasi, tetapi perekonomian berputar agar tidak sampai terjadi krisis sosial.
Ia sepakat bahwa dunia tak sama lagi sekarang, tetapi dari krisis yang telah terjadi, kita mestinya tetap jeli melihat ada peluang-peluang yang masih tercipta. Emil mengaku cukup senang karena sektor pertanian hanya mengalami pukulan dalam skala kecil. “Orang tetap perlu makan dalam situasi apapun.”
Dia juga menyebut sejumlah sektor bisnis seperti justru tumbuh menjanjikan selama pandemik seperti teknologi, farmasi, dan alat kesehatan. Semua itu ada di Jawa Barat, provinsi yang kini sedang dipimpinnya.
Dengan pola pengelolaan yang berubah, juga pola kerja baru semestinya sektor-sektor yang kebal terhadap krisis tersebut bisa menjadi kesempatan baru untuk digarap. Pekerja yang banyak meninggalkan kota karena PHK, semestinya bisa memanfaatkan momentum ini.
Krisis ini, pada akhirnya memang harus kita jalan dengan sebuah gerakan yang lentur, daya tahan kuat, dan tentu saja dengan perubahan perilaku. Tak elok juga hanya menyalahkan pandemik, karena sejatinya disrupsi telah terjadi sebelumnya, dan sejumlah sektor industri sedang menghadapi senja kala.
Model bisnis yang telah mati, sebagaimana kini dihadapi oleh Airbnb bukanlah hasil akhir karena itu sebenarnya bagian dari evolusi. Menurut Charles Darwin, pada akhirnya bukan yang paling kuat atau paling pintar akan bertahan, melainkan mereka yang adaptif.
Realita baru yang mesti dihadapi dengan model bisnis baru itu, selain selalu berusaha menjadi relevan bagi konsumen. Ini mengingatkan saya pada paparan Arief Yahya, mantan Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. dan Menteri Pariwisata 2014—2019, di era baru nanti kita harus mengawali dari akhir; memastikan inovasi yang dilakukan berpijak dari kebutuhan konsumen, bahkan konsumennya konsumen.