Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Sulit Memiliki Rumah di Jakarta?

Menurut survei JPI tahun lalu, rerata penghasilan pekerja muda di Jakarta sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta.
Kawasan Menteng di Jakarta Pusat/Istimewa
Kawasan Menteng di Jakarta Pusat/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Siapa yang tak ingin memiliki rumah di Jakarta? Bagi kaum milenial, untuk dapat memiliki rumah di Jakarta sangat sulit karena membutuhkan ongkos yang besar.

Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (JPI) Wendy Haryanto tak memungkiri memang harga hunian di Jakarta masih sangat mahal apabila berdasarkan pendapatan penduduknya. Bahkan, hunian di Jakarta merupakan salah satu yang termahal.

Berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul Time To Act tahun 2019, rasio harga rumah per pendapatan penduduk Jakarta adalah 10,3.

"Ini lebih tinggi, bahkan dibandingkan London 8,5, New York 5,7, dan Singapura 4,8," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (1/12/2020).

Menurut survei JPI tahun lalu, lanjutnya, rerata penghasilan pekerja muda di Jakarta sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta.

Lalu, kemampuan mencicil para pekerja rerata maksimal Rp3 juta per bulan, sedangkan harga apartemen di Jakarta yang agak ke tengah kota sudah sangat jauh dari harga di atas.

Wendy menuturkan bahwa penyebab utama tingginya rasio harga rumah dibandingkan dengan pendapatan karena yang paling utama koefisien lantai bangunan di Jakarta masih sangat rendah.

"Kalau dicek di RDTR [rencana detail tata ruang], kebanyakan KLB di Jakarta hanya berkisar satu sampai dua. Hal ini otomatis memengaruhi suplai hunian karena luas ruang yang terbangun sedikit dan tentu berdampak pada harga," katanya.

Faktor lain yakni berbelitnya perizinan pembangunan sehingga memakan waktu dan biaya. Untuk perizinan satu gedung di atas 5.000 meter persegi  bisa memakan waktu bertahun-tahun. "Ketidakpastian ini menyebabkan biaya dan risiko makin besar."

Wendy menilai bahwa sebenarnya ada jalan mudah untuk memenuhi kebutuhan hunian di Jakarta, yaitu dengan mempercepat proses pemenuhan kewajiban dan kontribusi developer untuk hunian terjangkau.

Developer berkewajiban membangun rumah susun murah siap huni setara 20 persen dari area komersial yang terbangun. "Namun, lahannya harus disediakan pemerintah daerah dan ini penyebab tersendatnya pemenuhan kewajiban tersebut,” tuturnya.

Para pengembang sangat berharap agar Pemprov DKI bisa mempercepat proses ini karena ini berpengaruh pada pembukuan pengembang dan lamanya proses mendapatkan sertifikat laik fungsi untuk operasional gedung.

"Pemda DKI pernah bilang kalau dikonversikan dalam rupiah, jumlah kewajiban pengembang dalam bentuk fasos fasum mencapai lebih dari Rp10 triliun," ujarnya.

Wendy menambahkan bahwa pihaknya juga mendorong pemerintah untuk memanfaatkan lahan-lahan pemerintah, terutama lahan-lahan BUMD untuk menambah suplai hunian, seperti rusun di atas pasar atau tanah pemerintah lainnya.

"Pembangunannya bisa dengan menggunakan skema pemenuhan kewajiban pengembang," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper