Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lonjakan Perdagangan Picu Naiknya Kecelakaan dan Hilangnya Kontainer ke Laut

Kontainer yang hilang atau jatuh ke laut tahun lalu mencapai 3.000, sedangkan sepanjang tahun ini jumlahnya telah melebihi 1.000 kotak.
Kapal CMA CGM Tage bersandar di dermaga JICT. Kapal ini menjadi salah satu kapal yang melayani pelayaran langsung Jakarta-Los Angeles./Bisnis-Rivki Maulana
Kapal CMA CGM Tage bersandar di dermaga JICT. Kapal ini menjadi salah satu kapal yang melayani pelayaran langsung Jakarta-Los Angeles./Bisnis-Rivki Maulana

Bisnis.com, JAKARTA - Lonjakan permintaan dan perdagangan dunia memicu masalah lain selain meningkatnya ongkos kirim dan kemacetan pelabuhan, yakni maraknya kontainer yang hilang dan jatuh ke laut.

Padahal di sisi lain, industri ini juga tengah menghadapi kelangkaan kontainer yang belum surut.

Kontainer yang hilang atau jatuh ke laut tahun lalu mencapai 3.000, sedangkan sepanjang tahun ini jumlahnya telah melebihi 1.000 kotak. Kecelakaan tersebut mengganggu rantai pasokan untuk ratusan peritel dan produsen Amerika Serikat seperti Amazon dan Tesla.

Ada sejumlah alasan untuk meningkatnya kecelakaan secara tiba-tiba. Cuaca semakin tidak terduga, sementara kapal semakin besar, memungkinkan peti kemas ditumpuk lebih tinggi dari sebelumnya.

Namun, yang sangat memperburuk situasi adalah lonjakan e-commerce setelah permintaan konsumen membludak selama pandemi, meningkatkan urgensi bagi perusahaan pelayaran untuk mengirimkan produk secepat mungkin.

"Peningkatan pergerakan peti kemas berarti bahwa kapal peti kemas yang sangat besar ini lebih mendekati kapasitas penuh daripada sebelumnya," kata Clive Reed, Pendiri Reed Marine Maritime Casualty Management Consultancy, dilansir Bloomberg, Selasa (27/4/2021).

Setelah angin kencang dan gelombang besar menghantam One Apus setinggi 364 meter pada November lalu dan menyebabkan hilangnya lebih dari 1.800 kontainer, rekaman menunjukkan ribuan kotak baja berserakan seperti potongan Lego di atas kapal, beberapa robek hingga tercabik-cabik logam.

Insiden itu adalah yang terburuk sejak 2013, ketika MOL Comfort pecah menjadi dua dan tenggelam dengan seluruh muatannya sebanyak 4.293 kontainer ke Samudra Hindia.

Pada Januari, Maersk Essen kehilangan sekitar 750 kotak saat berlayar dari Xiamen, China, ke Los Angeles. Sebulan kemudian, 260 kontainer jatuh dari Maersk Eindhoven ketika kehilangan daya di laut yang deras.

Menurut para ahli perkapalan, kebutuhan akan kecepatan menciptakan kondisi genting yang dapat dengan cepat membawa bencana. Selain karena durasi bongkar muat yang dipercepat sehingga mengurangi kehati-hatian, pelaut yang kelelahan juga menjadi faktor penyebab.

Allianz Global Corporate & Specialty memperkirakan bahwa kesalahan manusia berkontribusi pada setidaknya tiga perempat kecelakaan dan kematian industri perkapalan.

Hampir semua insiden baru-baru ini terjadi di Samudra Pasifik, wilayah di mana lalu lintas tersibuk dan cuaca terburuk bertabrakan. Rute laut yang menghubungkan ekonomi Asia dengan konsumen di Amerika Utara adalah yang paling menguntungkan bagi perusahaan pelayaran tahun lalu.

Menurut Jai Sharma, seorang mitra di firma hukum maritim Clyde & Co. di London, dengan rata-rata harga US$50.000 per boks, One Apus diperkirakan telah kehilangan kargo US$90 juta saja, tertinggi dalam sejarah baru-baru ini.

Data Bloomberg menunjukkan, kerugian sepanjang tahun ini diperkirakan mencapai US$54,5 juta.

Dengan tumpukan kotak yang semakin tinggi, sebuah kapal bisa menjadi lebih tidak stabil dalam badai dan gelombang yang dapat menyebabkan kapal terguling pada sudut yang curam, memberi tekanan pada pengamanan kontainer. Situasinya menjadi lebih buruk jika tumpukannya sangat berat.

Hal itu dapat terjadi jika ada pembobotan yang salah pada bill of lading untuk peti kemas, yang menurut banyak orang di industri ini terjadi terlalu sering.

Neil Wiggins, direktur pelaksana Independent Vessel Operations Services Ltd. mengatakan kru yang terlalu banyak bekerja juga meningkatkan risiko. Pengurangan tenaga kerja di atas kapal dengan peningkatan jumlah kontainer di dek membuat kru semakin sulit untuk memeriksa setiap batang dan sekrup secara efektif.

Ada juga faktor kesehatan dan keselamatan pelaut yang dipertaruhkan. Jatuhnya beberapa tingkatan kontainer setinggi 40 kaki selama badai yang mengamuk adalah salah satu pengalaman paling menakutkan bagi kapten dan kru.

"Lalu lintas di laut berbeda dari 10 tahun lalu. Bagaimana kita beradaptasi sebagai industri? Memang nyaman untuk menyalahkan kapten, tetapi kita perlu melihat bagaimana infrastruktur pelabuhan perlu diubah, bagaimana kapal transit," kata Rajesh Unni, pendiri Synergy Marine Group.

Organisasi Maritim Internasional (IMO) di bawah PBB mengatakan negara-negara yang benderanya dikapalkan bertanggung jawab untuk mengeluarkan sertifikat keselamatan untuk kapal, sementara pelabuhan yang dituju bertanggung jawab untuk memastikan aturan pemuatan kontainer dipatuhi.

Badan tersebut mengatakan sub-komite pengangkutan kargo secara rutin melihat masalah kontainer, dan telah menjadwalkan pertemuan berikutnya pada September.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper