Bisnis.com, JAKARTA — Meski belum menyamai realisasi kinerja prapandemi, ekspor industri pengolahan terus mengalami perbaikan signifikan sepanjang 2021 dibandingkan dengan 2020.
Hal ini menjadi bekal bagi pelaku industri berorientasi ekspor untuk menetapkan target pemulihan yang cukup ambisius memasuki 2022.
Lantas, seperti apa prospek, peluang, dan tantangan kinerja industri berorientasi ekspor pada tahun depan?
Selain soal pemulihan kinerja ekspor berbasis produk hilir pada 2022, berbagai berita pilihan tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id. Mulai dari sejarah panjang pembangunan jalan tol di Indonesia hingga investrasi ratusan triliun rupiah siap membanjiri industri baja nasional.
Berikut highlight Bisnisindonesia.id, Minggu (26/12/2021) :
Darurat Moratorium Investasi Industri Semen
Pembatasan investasi pabrik semen dinilai menjadi kebutuhan urgen untuk mengtasi isu oversuplai komoditas material konstruksi tersebut. Terlebih, kapasitas produksi yang tinggi di dalam negeri masih berbanding terbalik dengan rendahnya permintaan.
Dalam kaitan itu, Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito telah bersurat dengan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk meminta kepastian pembatasan investasi di sektor industri semen.
Akan tetapi, Kemenperin menggarisbawahi agar pembatasan investasi pabrik semen dikecualikan untuk beberapa daerah yang suplainya masih rendah. Misalnya di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
Untuk diketahui, utilisasi produksi industri semen nasional saat ini masih di bawah 60 persen. Dengan total produksi Januari—November mencapai 63,19 juta ton dan total kapasitas 116 juta ton, rata-rata utilisasi semen sepanjang 2021 berada di angka 54,47 persen.
Adapun, menurut catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI), penjualan semen di dalam negeri dan ekspor pada tahun lalu mencapai 71,78 juta ton.
Pada Januari—November 2021, produksi semen untuk konsumsi domestik dan ekspor mencapai 70,38 juta ton, dengan 59,43 juta ton penjualan dalam negeri, dan sisanya 10,95 juta ton ekspor.
Investasi Superjumbo Siap Hujani Industri Baja Nasional
Industri baja nasional bakal ketiban investasi jumbo seiring dengan terjalinnya komitmen penanaman modal baru senilai Rp215 triliun di sektor ini dalam beberapa tahun ke depan.
The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) merekapitulasi investasi baru tersebut diarahkan untuk mengisi kekurangan kapasitas dengan membandingkan tingkat konsumsinya.
Produsen cold rolled coil/sheet (CRC/S) merencanakan penambahan fasilitas produksi antara lain, PT Krakatau Steel-Posco dengan penambahan kapasitas cold rolling mill (CRM) sebesar 1,2 juta ton per tahun.
Selain itu, PT AM/NS Indonesia dengan penambahan kapasitas CRM sebesar 500.000 ton per tahun, PT Sunrise Steel dengan penambahan kapasitas reversing mill 200.000 ton per tahun, dan PT New Asia International dengan penambahan kapasitas CRM 800.000 ton per tahun.
Bila dihitung secara total, nilai investasi yang sudah ditanamkan di industri baja mencapai sebesar US$15,2 miliar atau setara Rp215 triliun, yang terdiri dari baja karbon sebesar US$12 miliar atau setara Rp170 triliun dan baja nirkarat sebesar US$3,2 miliar atau setara Rp45 triliun.
Bagaimanapun, pengusaha menilai besarnya investasi yang telah dikeluarkan industri baja perlu didukung oleh pemerintah melalui pengendalian impor dan kebijakan yang terintegrasi.
Untuk diketahui, utilisasi industri baja nasional diperkirakan berada di angka 52 persen pada tahun ini.
Babak Baru Kebangkitan Industri Berorientasi Ekspor
Capaian gemilang performa perdagangan sepanjang 2021 menjadi katalis positif bagi pelaku industri berorientasi ekspor untuk membidik target yang lebih embisius pada 2022.
Pelaku industri percaya tren perbaikan kinerja ekspor akan berlanjut pada tahun depan, yang ditandai dengan pulihnya permintaan mancanegara yang sejak 2021.
Beberapa sektor industri berorientasi ekspor yang memandang 2022 dengan optimisme tinggi adalah alas kaki dan otomotif.
Bagaimanapun, moncer-nya kinerja ekspor industri pengolahan pada tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu dinilai belum menayamai situasi sebelum pandemi.
Ekonom serta sebagian pelaku industri mengatakan dinamika di lapangan sepanjang 2021 masih belum mendukung operasional industri pengolahan.
Terdapat sejumlah kendala seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan logistik ekspor yang menghambat kinerja perniagaan luar negeri.
Selain itu, kinerja industri pengolahan dalam ekspor nonmigas belum maksimal. Hasil positif yang sejauh ini dicetak dia nilai lebih banyak disumbang oleh kenaikan signifikan pada produk berbasis komoditas seperti minyak kelapa sawit serta besi dan baja.
Lantas, bagaimana prospek kinerja ekspor nonmigas berbasis penghiliran pada 2022?
Ilustrasi aset kripto Bitcoin/Freepik
Pebisnis Bersiap Sambut Hadirnya Bursa Kripto Indonesia
Dalam waktu dekat, pemerintah segera meluncurkan instrument investasi terbaru berupa bursa aset kripto di Indonesia.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menjadwalkan bursa kripto paling lambat diluncurkan awal 2022 melalui Digital Futures Exchange (DFX).
Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Asprakindo menilai aset kripto memiliki tren pertumbuhan yang positif saat ini.
Dengan pertumbuhan yang cukup masif ini, salah satu yang ditargetkan adalah hadirnya bursa kripto di Indonesia.
Rencana pembentukan bursa kripto pun disamput positif oleh berbagai kalangan lantaran dilnilai sangat membantu meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di aset kripto, serta menciptakan iklim investasi aset kripto yang matang di Tanah Air.
Di sisi lain, hadirnya bursa resmi ini menunjukkan bahwa aset kripto menjadi salah satu instrumen investasi yang diakui dan potensial bagi pemerintah.
Layaknya bursa saham, bursa kripto akan menjadi pasar, di mana aset-aset kripto ditransaksikan.
Masyarakat punya lebih banyak pilihan untuk menginvestasikan dananya, tak sebatas pada instrumen investasi konvensional, seperti saham, reksa dana, obligasi, emas, dan properti.
Menjelang finalisasi Digital Futures Exchange (DFX) sebagai bursa aset kripto resmi di Indonesia, Bappebti Kementerian Perdagangan pun tengah menyusun sejumlah kebijakan.
Mengenang Pembangunan Jalan Tol dari Masa ke Masa
Jalan tol sejak satu dekade terakhir menjadi salah satu infrastruktur yang gencar dibangun pemerintah karena keberadaannya dapat mempersingkat jarak tempuh dari satu kota ke kota lainnya serta menumbuhkan perekonomian daerah yang dilewatinya.
Apalagi, banyak investor proyek jalan tol, khususnya swasta, yang pada era 1990-an sampai dengan 2000-an sudah mengantongi izin, ternyata tak mampu merealisasikannya sehingga beralih kepemilikan.
Saat ini, keberadaan jalan tol sudah menjangkau empat pulau besar di Indonesia, kecuali Papua. Bahkan, pulau seperti Bali sudah memiliki jalan tol karena keberadaannya memang dibutuhkan di sana.
Pulau lain yang akan menyusul Bali adalah Batam karena sudah masuk dalam rencana pemerintah.
Pembangunan jalan tol tidak melulu soal hal-hal positif, tentu ada sisi negatifnya.
Misalnya, pembangunan jalan tol yang harus mengorbankan lahan persawahan atau perkebunan, hingga mengurangi penghasilan warga di kota-kota yang sebelum ada jalan tol, daerahnya menjadi jalur utama lalu lintas kendaraan.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hingga Juni 2021 sepanjang 2.391 km jalan tol telah beroperasi yang merupakan akumulasi dari ruas tol yang tuntas dan dioperasikan pada periode 1978—2014 sepanjang 795 km, dilanjutkan periode 2015—2019 (1.298 km), kemudian ditambah 246 km pada tahun 2020, dan 54,69 km dari Januari hingga April 2021.
Terdapat 53 badan usaha jalan tol yang mengelola jalan tol baik yang sudah beroperasi maupun dalam tahap konstruksi.
Sejarah jalan tol di Indonesia dimulai pada 1978 dengan dioperasikannya jalan tol Jagorawi dengan panjang 59 kilometer—termasuk jalan akses—yang menghubungkan Jakarta, Bogor, dan Ciawi. Lantas, seperti apa rekam jejak pembangunan jalan tol di Indonesia hingga saat ini?