Bisnis.com, JAKARTA - Perdana Menteri Irlandia Michael Martin mengatakan bahwa Inggris telah memperlihatkan itikad buruk setelah upaya penerbitan undang-undang yang akan merusak perjanjian Brexit.
Menurutnya upaya untuk meningkatkan implementasi Protokol Irlandia Utara sah-sah saja.
"Namun, sayangnya apa yang telah kita lihat adalah upaya itikad buruk untuk merusak perjanjian yang dibuat secara bebas," kata Martin dalam pidatonya di Parlemen Eropa seperti dikutip Bloomberg pada Rabu (8/6/2022).
Dia menilai Inggris justru berusaha untuk memblokir perjanjian dan menimbulkan masalah baru.
PM Martin mengatakan tindakan sepihak dalam penyelesaian masalah Protokol akan sangat merusak.
“Ini akan menandai titik terendah bersejarah yang menunjukkan [sikap] mengabaikan prinsip penting hukum yang merupakan dasar dari hubungan internasional. Dan itu sama sekali tidak menguntungkan siapa pun," tegas Martin.
Baca Juga
Sebelumnya, menurut sumber anonim, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berupaya untuk merusak perjanjian Brexit yang juga mengatur Protokol Irlandia Utara dengan undang-undang baru .
Perlu diketahui, Protokol Irlandia Utara adalah perjanjian khusus yang mengatur kewajiban pemeriksaan barang yang masuk ke Irlandia Utara setelah Inggris keluar dari Uni Eropa atau Brexit pada 2016.
Wilayah ini menjadi satu-satunya milik Inggris yang berbatasan dengan negara Uni Eropa, Republik Irlandia.
Ketegangan terjadi antara kedua pihak setelah Inggris mengancam menghapus kewajiban pemeriksaan pada sebagian barang yang masuk ke Irlandia Utara guna melindungi pasar tunggal Uni Eropa tanpa menciptakan batasan keras di depan Republik Irlandia.
Alhasil, rencana Pemerintahan Johnson untuk membatalkan Protokol telah mengundang kemarahan dari anggota Uni Eropa dan juga politikus senior di Amerika Serikat yang berupaya mendesak perdamaian di Irlandia Utara tidak dirusak.
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan pada Selasa, bahwa RUU ini akan melindungi pasar tunggal UE dan memungkinkan barang beredar secara bebas di Inggris.
Payung hukum ini memungkinkan seorang menteri melakukan perubahan langsung tanpa memerlukan persetujuan aktif dari Parlemen.
RUU ini juga akan menggantikan Pengadilan Eropa dengan pengadilan Inggris sebagai penengah akhir atas sengketa hukum, kata salah satu sumber.
Kepala negosiator Brexit Uni Eropa Maros Sefcovic telah berulang kali mengatakan bahwa dia tidak akan melakukan negosiasi ulang terkait dengan Protokol karena merupakan hukum internasional yang mengikat.
Adapun keputusan perubahan harus disepakati oleh 27 anggota negara.