Bisnis.com, JAKARTA - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg telah memberikan peringatan kepada negara sekutu untuk bersiap menghadapi dampak perang Rusia vs Ukraina yang diprediksi bakal berlangsung selama tahunan. Lantas, apa dampaknya ke ekonomi Indonesia?
"Kita harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa itu [perang Rusia-Ukraina] bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kita tidak boleh putus asa dalam mendukung Ukraina," kata Stoltenberg, mengutip Al-Jazeera, Senin (20/6/2022).
Perang Rusia vs Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari 2022 telah menyebabkan situasi perekonomian dunia menghadapi serangan beruntun. Apalagi, dunia belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid-19.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan hal-hal yang dulunya tidak diperkirakan kini muncul, terutama di tengah perang Rusia vs Ukraina. Beberapa dampaknya, antara lain kelangkaan energi akibat harga minyak kala itu sempat menyentuh US$135 per barrel. Hal itu diikuti kelangkaan pangan seperti gandum dan kedelai serta kelangkaan kontainer, yang kemudian memicu inflasi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menyampaikan, perang antar kedua negara telah merugikan Indonesia dari sisi perdagangan. Berdasarkan data BPS pada April 2022, perdagangan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina mencatatkan defisit hingga periode April 2022.
Padahal, periode tahun lalu masih membukukan neraca perdagangan positif. Pada Januari 2022, Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan US$11,5 miliar dari Rusia.
Baca Juga
Defisit perdagangan tersebut, jelas Margo, mulai tercatat pada Februari 2022 ketika perang mulai berlangsung, dimana defisit tercatat mencapai US$186,8 miliar. Kemudian pada April 2022, defisit tercatat berkurang menjadi US$34 juta.
Secara kumulatif, jika dibandingkan Januari-April 2022, Indonesia mengalami defisit US$217,2 juta. Sedangkan di 2021, Indonesia dengan Rusia pada periode yang sama mengalami surplus US$48,3 juta. Hal serupa juga terjadi pada perdagangan Indonesia dengan Ukraina.
Pada Januari 2022, Indonesia mencatatkan defisit sebesar US$8,9 juta dengan Ukraina. Defisit tersebut terus berkurang hingga mencapai US$1,3 juta pada April 2022.
Menurut Margo, Indonesia mencatatkan defisit perdagangan sebesar US$23,3 juta dengan Ukraina pada periode Januari-April 2022. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan sebesar US$69,0 juta dari Ukraina.
"Disini terlihat konflik Rusia Ukraina merugikan kita, terlihat neraca perdagangan 4 bulan terakhir kita defisit dengan kedua negara. Dibandingkan tahun lalu, kita masih mendapatkan surplus dari Ukraina dan Rusia," ungkap Margo, mengutip Bisnis, Senin (20/6/2022).
Dampak Perang Rusia vs Ukraina ke Indonesia
Lantas bagaimana jika perang tersebut terus berlanjut? Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan, perang yang terus berlanjut dapat memicu terjadinya tekanan inflasi global yang relatif membahayakan pemulihan ekonomi di seluruh negara, terutama negara berkembang.
Disrupsi rantai pasok akan menyebabkan pengiriman barang menjadi lebih mahal. Akibatnya, biaya produksi di beberapa industri manufaktur akan diteruskan ke konsumen dalam negeri sehingga konsumen menanggung biaya yang jauh lebih tinggi.
Selain itu, perang yang berlanjut akan semakin meningkatkan ketidakpastian. Volatilitas yang terlalu tinggi, jelas Bhima, bakal membuat sektor keuangan menjadi kurang diminati bagi para investor. Pada akhirnya, investor akan mengalihkan dananya ke aset yang lebih aman atau safe haven.
Konflik yang diprediksi bakal berkepanjangan tersebut juga disebut akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya diperkirakan 5 persen.
"Mungkin pertumbuhannya hanya berkisar di 3-4 persen sepanjang 2022. Dan tahun depan pun belum bisa berharap pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi," kata Bhima kepada Bisnis, Senin (20/6/2022).
Dampak lainnya adalah stabilitas nilai tukar Rupiah. Stabilitas nilai tukar yang mulai terganggu tersebut akan menyedot cadangan devisa dalam jumlah yang sangat besar untuk mempertahankan nilai tukar rupiah. Kemudian bagi pelaku usaha, Bhima memperkirakan situasi tersebut dapat merubah pola bisnis dan juga pola distribusi.
Para pelaku usaha mulai mencari alternatif negara yang tidak terlalu terdampak akibat adanya perang, yang siap memasok barang modal dan barang baku impor. Meskipun demikian, Bhima mengatakan hal membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Guna meminimalisir dampak perang Rusia dan Ukraina, Bhima membagikan enam hal. Pertama, pemerintah harus menyiapkan cadangan pangan dan mendorong produksi nasional untuk mengantisipasi gejolak pada bahan pangan impor.
Kedua, KSSK perlu melakukan stress test terhadap lembaga keuangan yang rentan terkait perubahan risiko eksternal. Ketiga, memastikan perusahaan yang memiliki jaringan pendanaan dari Rusia maupun Ukraina telah menerapkan hedging atau lindung nilai.
Keempat, meningkatkan DHE dari ekspor komoditas untuk menjaga stabilitas kurs serta memperkuat LCS dan memperluas negara yang menjadi mitra kerjasama.
Terakhir, meningkatkan jaring pengaman sosial, terutama bagi kelompok rentan yang sensitif terhadap inflasi pangan maupun energi.