Bisnis.com, JAKARTA - Goldman Sachs Group Inc. mendesak investor untuk menimbun komoditas karena sebagian besar risiko resesi yang terjadi di pasar global berlebihan dalam waktu dekat.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (29/8/2022), Goldman Sachs memperkirakan bahwa bahan mentah akan rebound di tengah krisis energi yang mendalam dan fundamental fisik yang ketat.
Para ekonom memprediksi risiko resesi di luar Eropa selama 12 bulan ke depan relatif rendah, berdasarkan pernyataan analis Sabine Schels, Jeffrey Currie dan Damien Courvalin.
“Dengan minyak sebagai komoditas pilihan terakhir di era kekurangan energi yang parah, kami percaya kemunduran di seluruh kompleks minyak memberikan titik masuk yang menarik untuk investasi jangka panjang," kata mereka dikutip dari Bloomberg pada Senin (29/8/2022).
Nilai komoditas mencapai rekor tertinggi pada Juni karena invasi Rusia ke Ukraina mengganggu produksi dan rantai pasokan, tetapi kemudian kekhawatiran resesi meningkat dan bank sentral, termasuk The Federal Reserve (The Fed), memperketat kebijakan untuk menahan inflasi.
Pekan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk mengikuti paruh ini, dan saham global mencapai level terendah satu bulan pada Senin (29/8/2022).
Baca Juga
Pandangan Goldman Sachs dalam catatan yang berjudul "Buy commodities now, worry about the recession later," dari perspektif lintas-aset, ekuitas bisa menderita karena inflasi tetap tinggi. Ditambah, The Fed yang cenderung mengejutkan dari sisi hawkish.
"Komoditas, di sisi lain, adalah kelas aset terbaik untuk dimiliki selama fase siklus akhir di mana permintaan tetap di atas pasokan,” lanjutnya.
Bank Wall Street terkemuka lainnya menjadi lebih berhati-hati terhadap prospek komoditas dalam beberapa bulan terakhir. Di antara mereka, Citigroup Inc. memperingatkan pada Juli bahwa harga minyak mentah bisa jatuh serendah US$65 per barel di akhir tahun ini jika resesi yang melumpuhkan permintaan melanda. Minyak mentah Brent berakhir pada US$101,70.
Goldman Sachs memperingatkan bahwa jalan di depan mungkin tidak mulus, dan komoditas cenderung lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, terutama jika greenback memperpanjang kenaikan.
"Kami mengakui bahwa lanskap makro tetap menantang dan dolar AS bisa naik lebih lanjut dalam jangka pendek," katanya.