Bank Dunia menilai bahwa perlambatan ekonomi global saat ini merupakan yang paling tajam setelah pemulihan pasca resesi pada 1970. Terdapat risiko terjadinya resesi global dan krisis keuangan negara berkembang pada 2023.
Berdasarkan studi Bank Dunia, kepercayaan konsumen global saat ini menurun jauh lebih tajam daripada kondisi menjelang resesi-resesi global sebelumnya. Salah satu indikatornya, kondisi Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa sebagai kekuatan ekonomi terbesar, melambat tajam.
Bank Dunia menilai bahwa dalam keadaan seperti saat ini, pukulan moderat terhadap ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan dapat membawa datangnya resesi. Bahkan, pada 2023 pun diperkirakan akan terjadi resesi karena serentaknya kenaikan suku bunga dari seluruh bank sentral, sebagai respons terhadap inflasi.
"Perlambatan—seperti yang sedang berlangsung—biasanya memerlukan kebijakan kontra-siklus untuk mendukung aktivitas. Namun, ancaman inflasi dan keterbatasan ruang fiskal mendorong para pembuat kebijakan di banyak negara untuk menarik dukungan kebijakan bahkan ketika ekonomi global melambat tajam," tulis Presiden Grup Bank Dunia David Malpass.
Berdasarkan pengalaman pada dekade 1970-an, yakni respons kebijakan terhadap resesi global 1975, periode stagflasi berikutnya, dan resesi global 1982 menggambarkan risiko dari membiarkan inflasi tetap tinggi untuk jangka waktu yang cukup lama sementara pertumbuhan ekonomi lemah.
World Bank menjelaskan bahwa resesi global 1982 bertepatan dengan tingkat pertumbuhan terendah kedua di negara berkembang selama lima dekade terakhir, kedua setelah 2020.
"Resesi ini memicu lebih dari 40 krisis utang dan diikuti oleh satu dekade pertumbuhan yang hilang di banyak negara berkembang," tertulis dalam keterangan resmi Bank Dunia.