Bisnis.com, JAKARTA — Perluasan basis pajak melalui integrasi NIK dengan NPWP dan data hasil program pengungkapan sukarela atau PPS akan menjadi modal bagi pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak pada 2023. Pasalnya, lonjakan harga komoditas (commodity boom) dan PPS diperkirakan tidak lagi membawa tambahan penerimaan tahun ini.
Pemerintah mematok target penerimaan pajak Rp1.718 triliun pada 2023. Angka itu tumbuh 15,7 persen dari target awal penerimaan pajak 2022 senilai Rp1.485 triliun, tetapi tercatat hanya naik 0,07 persen dari realisasi pajak 2022 senilai Rp1.716,8 triliun.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Perpajakan Yon Arsal menyebut bahwa kinerja positif pada tahun lalu tidak lepas dari berkah lonjakan harga komoditas (commodity boom) dan berjalannya reformasi perpajakan. Selain itu, kondisi perekonomian tumbuh baik sehingga penerimaan pajak dari seluruh sektor meningkat.
Yon menyebut bahwa saat ini harga komoditas tidak bergerak setinggi 2022, sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan pajaknya. Lalu, pada 2023 tidak terdapat pelaksanaan PPS yang memberikan penerimaan pajak penghasilan (PPh) Rp61 triliun, sehingga target penerimaan pajak 2023 harus tercapai tanpa dorongan-dorongan tersebut.
"Kita lihat dari baseline 2022 ada penerimaan yang tidak berulang pada 2023, seperti PPS jumlahnya sudah Rp61 triliun sendiri, belum lagi dampak harga komoditas tahun kemarin sangat naik. Ya, dalam hitungan kami, [target 2023] tetap tumbuhnya cukup signifikan, artinya, implisit growth-nya itu sudah cukup tinggi kalau hitungan internal kami," ujar Yon pada Selasa (10/1/2023).
Yon menyatakan bahwa pemerintah akan menindaklanjuti berbagai amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk mendongkrak penerimaan negara. Ketentuan UU itu yang menjadi sorotan di antaranya adalah hal-hal terkait wajib pajak orang pribadi.
Pelaksanaan PPS, atau yang sering disebut Tax Amnesty Jilid II, memberikan pemerintah tambahan penerimaan dan basis data wajib pajak. Kini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengantongi data terbaru keberadaan wajib pajak beserta harta-hartanya, sehingga dapat menjadi acuan untuk penarikan pajak ke depannya.
Basis data perpajakan pun akan semakin kaya setelah integrasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pasalnya, data kepemilikan dan aliran uang, kepemilikan dan transaksi properti, serta berbagai data lainnya akan dapat digunakan oleh pemerintah dalam perbandingan dan perhitungan kewajiban perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan bahwa hingga Minggu (8/1/2023), sudah terdapat 53 juta NIK yang terintegrasi dengan NPWP. Secara keseluruhan terdapat 69 juta NIK, berarti sekitar 77 persen data kependudukan telah terintegrasi dengan data perpajakan.
"Kami ingin kita tersambung semua dengan sistem informasi yang lain. Kalau common identifier-nya sama, informasinya bisa saling dipertukarkan dan saling di-cross match-kan, sehingga pelayanannya menjadi sederhana," ujar Suryo pada Selasa (10/1/2023).
Menurutnya, pemutakhiran data melalui integrasi NIK dengan NPWP bukan hanya bermanfaat bagi pemerintah, tetapi juga menguntungkan wajib pajak. Korespondensi administrasi perpajakan akan mengacu kepada data Ditjen Pajak, sehingga apabila data tersebut sesuai masyarakat dapat dengan mudah mengonfirmasi kewajiban perpajakannya.
"Jadi melalui media ini, dengan NIK sebagai NPWP, kami ingin memiliki data dan informasi yang lebih valid mengenai wajib pajak di Indonesia," ujar Suryo.
Tak Ada Commodity Boom dan PPS, Ini Strategi Kejar Target Pajak 2023
Kemenkeu buka-bukaan soal strategi kejar target pajak 2023 saat tak ada lagi commodity boom dan program PPS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Wibi Pangestu Pratama
Editor : Feni Freycinetia Fitriani
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
13 jam yang lalu