Bisnis.com, JAKARTA — Sebagian besar eksportir batu bara merasa waswas dengan rencana Australia menerapkan kebijakan wajib pasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) batu bara antara 7-10 persen pada tahun ini.
Kebijakan itu dinilai bakal ikut memperkuat indeks harga batu bara Australia yang pada gilirannya memperlebar tarif royalti yang mesti dibayar perusahaan di dalam negeri yang mayoritas berpatok pada harga indeks batu bara Indonesia atau Indonesia Coal Index (ICI).
“Semenjak formula harga batu bara acuan (HBA) belum direvisi tentu akan berdampak pada eksportir kita karena kita terbebani oleh disparitas HBA yang jauh lebih tinggi dari harga jual kita,” kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia, saat dihubungi, Jumat (20/1/2023).
Seperti diketahui, HBA diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen dan Ash 15 persen.
Adapun NEX dan GCNC adalah indeks yang digunakan untuk memperhitungkan harga batu bara asal Australia yang relatif lebih mahal dengan kalori tinggi. Sementara eksportir Indonesia mayoritas menggunakan ICI dan Platt’s untuk penjualan komoditas mereka dengan harga dan kalori yang lebih rendah.
Apalagi untuk perhitungan HBA Januari 2023 lebih banyak dikerek oleh kenaikan index bulanan GCNC sebesar 16,23 persen dan NEX sebesar 17,88 persen. Di sisi lain, Index Platts dan ICI masing-masing turun sebesar 8,81 persen dan 3,25 persen.
Seperti diketahui, HBA awal tahun ini masih berada di level tinggi US$305,21 per ton atau naik 8,43 persen dari posisi Desember 2022 lalu di level US$281,48 per ton.
“Ketika HBA US$305,21 per ton itu jadi patokan tarif royalti, tetapi kita jualnya menggunakan ICI kita terima US$200 per ton ini sudah beda yang disebut decoupling, kita terima duit US$200 per ton tapi bayar royalti berdasarkan US$305,21 per ton,” ujarnya.
Konsekuensinya, kata dia, kebijakan tarif royalti yang diterapkan sekarang maksimal 13,5 persen dari harga jual per ton secara progresif bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sudah melebihi ambang batas di dalam praktiknya.
“Kalau saya hitung-hitung saya bisa bayar 20 persen jadinya karena saya bayarnya berdasarkan US$305,21 per ton tadi, itu yang mendesak buat kita. Kalau HBA belum direvisi kita akan terbebani karena kita bayarnya lebih tinggi,” jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Negara Bagian Australia berencana menerapkan skema baru perdagangan batu bara, di mana penambang lokal perlu menyisihkan antara 7 persen hingga 10 persen untuk cadangan dalam negeri.
Dikutip dari Bloomberg, Kamis (19/1/2022), New South Wales (NSW), negara bagian terpadat dan penghasil batu bara terbesar kedua setelah Queensland, akan menelurkan beleid yang mengatur pembatasan tersebut. Kebijakan ini mirip dengan domestic market obligation (DMO) yang diterapkan juga di Indonesia.
Menteri Keuangan NSW, Matt Kean, mengatakan pihaknya tengah berupaya menutupi kekurangan cadangan sekitar 4 juta ton atau sekitar 2,5 persen dari proyeksi ekspor batu bara tahun ini.
Kebijakan itu menopang upaya Pemerintah NSW yang berkomitmen membatasi harga batu bara di level US$125 per ton kepada penyedia listrik lokal untuk menekan pengeluaran rumah tangga dan bisnis.
Dalam keterangannya Kean menyatakan pembatasan tersebut bersifat sementara dan diperkirakan akan berlangsung hingga 2024. Menurutnya, merupakan sesuatu yang wajar jika penambang Australia memprioritaskan konsumsi energi domestik.
"Saya tahu mereka yang saat ini menyuplai batu bara untuk pasar lokal akan mengapresiasi bahwa perusahaan yang menikmati keuntungan jumbo setelah perang di Ukraina, akan berkontribusi ke pasar domestik. Pengaturan baru ini akan membantu [menyeimbangkan] persaingan di antara produsen batu bara," paparnya.