Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengusulkan pengkajian domestic market obligation (DMO) gas alam diterapkan untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
Sekretaris Jenderal Hipmi, Anggawira mengatakan DMO gas alam menjadi langkah strategis guna memastikan pasokan gas yang lebih stabil dan berkelanjutan bagi sektor industri domestik, pembangkit listrik, hingga transportasi.
“Selama ini, ketergantungan pada skema harga ekspor atau mekanisme pasar penuh cenderung menyulitkan sektor industri nasional untuk mendapatkan harga gas yang kompetitif,” kata Anggawira kepada Bisnis, Kamis (17/7/2025).
Menurut dia, penerapan DMO gas dapat menjadi mekanisme kontrol sekaligus memastikan bahwa sebagian dari produksi gas nasional dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga yang wajar.
Terlebih, kebutuhan gas domestik terus mengalami peningkatan. Merujuk data SKK Migas, pemanfaatan gas bumi didominasi untuk industri 25,44% dan ekspor 23,4%.
Selanjutnya, untuk domestik LNG sebesar 13,09%, kelistrikan 12,93%, pupuk 12,25%, dan lainnya. Permintaan gas dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat.
Baca Juga
“Jadi, ya secara prinsip, DMO gas sangat efektif untuk menjamin kebutuhan domestik dan mengurangi tekanan terhadap opsi impor,” tuturnya.
Dari sisi keekonomian, dia menilai DMO gas akan menciptakan kepastian harga di pasar domestik. Hal ini penting bagi pelaku usaha karena volatilitas harga gas saat ini seringkali mengganggu perencanaan produksi dan investasi, terutama di sektor hilir.
Namun, Anggawira mewanti-wanti agar implementasi DMO harus tetap mempertimbangkan insentif bagi produsen agar tidak mengurangi minat investasi di sektor hulu.
Dalam hal ini, skema harga DMO gas perlu disusun secara transparan dan adil, baik bagi konsumen domestik maupun produsen, agar tetap terjadi keseimbangan antara daya saing industri dan keberlanjutan proyek migas.
Sebagai solusi jangka pendek, pihaknya melihat kebutuhan impor LNG tidak bisa dihindari, terutama mengingat adanya ketimpangan antara lokasi sumber gas dan pusat permintaan (mismatch spatio-temporal), serta keterbatasan infrastruktur distribusi domestik.
“Maka impor LNG menjadi jembatan solusi sementara,” imbuhnya.
Dia juga tak menutup kemungkinan adanya kerja sama dengan Amerika Serikat mengenai kemungkinan kerja sama pasokan LNG dari AS. Hal ini terungkap dalam beberapa pertemuan tingkat tinggi, termasuk agenda bilateral baru-baru ini.
“Namun, ini masih dalam tahap penjajakan. Tentunya kami mendorong agar setiap kerja sama dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan, serta tidak mengganggu upaya Indonesia mencapai kemandirian energi jangka menengah-panjang,” pungkasnya.