Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merampungkan kebijakan terkait dengan klasifikasi mineral kritis untuk mengatur industri hingga tata niaga logam bernilai tinggi itu di dalam negeri.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif menerangkan, penyusunan aturan ihwal klasifikasi mineral kritis itu hampir rampung atau telah mencapai sekitar 95 persen.
“Tinggal satu kali putaran lagi,” kata Irwandy saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Irwandy mengatakan, klasifikasi itu bakal mengatur sekitar 47 jenis mineral kritis yang banyak diidentifikasi di Indonesia.
Klasifikasi mineral kritis itu, lanjut Irwandy, juga diharapkan dapat menunjang industri strategis domestik seperti yang belakangan tengah dikembangkan pemerintah, yakni baterai serta kendaraan listrik.
“Nikel dan timah juga mineral kritis untuk ekosistem baterai, kita harus jaga mineral ini,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Indonesia berkeinginan untuk meningkatkan daya tawar komoditas mineralnya di pasar global melalui pengendalian ekspor dan pembentukan indeks harga.
Besarnya ceruk pasar mineral Indonesia dalam supply dan demand global membuat Indonesia dinilai memiliki kans untuk menjadi price maker atau penentu harga mineral global.
BUMN Holding Industri Pertambangan atau Mining Industry Indonesia (MIND ID) pun mengusulkan adanya pengaturan volume ekspor mineral kritis dalam negeri melalui skema satu pintu. Usulan itu disampaikan ke pemerintah agar volume ekspor dari Indonesia dapat terkontrol sehingga mencegah kelebihan pasokan yang dapat membuat harga jatuh di pasar global.
“Diharapkan dengan pola ini dapat meningkatkan harga komoditas mineral dari Indonesia seperti nikel, bauksit, timah, dan tembaga sehingga dapat memberikan kontribusi pendapatan negara yang optimal,” kata SVP Corporate Secretary MIND ID Heri Yusuf kepada Bisnis dikutip Jumat (12/5/2023).
MIND ID mengusulkan peran satu pintu ekspor itu dapat diemban oleh perusahaan representatif yang nantinya dipilih oleh pemerintah. Kendati demikian, Heri menerangkan, skema ekspor satu pintu itu mesti perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah untuk menjamin pengawasan dan pengendalian volume ekspor mendatang.
“Untuk mencapai hal itu, diperlukan sistem yang ketat terhadap transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dalam proses pengaturan tersebut untuk menghindari terjadinya praktik-praktik yang berpotensi mengurangi pendapatan negara,” kata dia.