Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan teknologi digital yang pesat telah memengaruhi pranata sosial. Hari ini, kita hidup pada ekosistem di mana segala sesuatu tersedia secara cepat dan instan.
Mobilisasi informasi dan aktivitas ekonomi melaju makin kencang, terutama dalam dekade terakhir. Ekspektasi ‘serba instan’ tak luput menyentuh sistem pembayaran.
Pandemi Covid-19 terbukti tak menahan laju inovasi pada area digitalisasi. Sebaliknya, terbatasnya interaksi fisik akibat virus Covid-19 justru menjustifikasi urgensi percepatan transformasi digital.
Pada area sistem pembayaran, popularitas metode nontunai justru melonjak akibat pandemi. Kemudahan akses, kontak fisik yang minimal, beragam ‘pemanis’ transaksi, hingga tren sosial ‘kekinian’ menjadi faktor yang menarik minat masyarakat terhadap metode pembayaran modern.
Sistem pembayaran dapat diibaratkan sebagai ‘pembuluh darah’ yang berfungsi mengalirkan ‘dana’ agar ‘jantung’ perekonomian berdetak. Layaknya tubuh manusia, penyumbatan pembuluh darah dapat berbahaya bagi kesehatan. ‘Detak jantung’ ekonomi lantas bergantung pada kelancaran sistem pembayaran.
Joseph Sommer dari Federal Reserve of New York pernah menyamakan makna uang dengan kinerja sistem pembayaran dengan ungkapan: “money is what the payment systems do.” Dalam bahasa sehari-hari, ‘cuan’ yang dihasilkan dalam aktivitas ekonomi memang banyak bergantung pada reliabilitas dan efisiensi sistem pembayaran.
Baca Juga
Kemunculan berbagai inovasi pembayaran adalah salah satu cerminan kebutuhan modernisasi sistem pembayaran. Terdapat tiga aspek urgensi pengembangan sistem pembayaran. Pertama, akses terhadap metode pembayaran yang tak lepas dari unsur biaya dan inklusivitas.
Kedua, simultanitas penyelesaian transaksi. Kecepatan penyelesaian transaksi kerap dipandang sebagai faktor penentu, meskipun lag waktu yang terukur tak selamanya buruk. Ungkapan ‘waktu adalah uang’ masih sangat bermakna, terutama bagi pebisnis yang memperhitungkan secara cermat opportunity cost.
Pada jangka menengah hingga panjang, transformasi industri sistem pembayaran yang menuntut kemudahan akses dan simultanitas secara logis akan mengarah pada urgensi ketiga, yaitu tersedianya sistem pembayaran lintas batas (cross-border).
Dalam konsep ekonomi terbuka, perdagangan internasional menentukan kekuatan eksternal ekonomi suatu negara, yang berpotensi memberikan spillover positif ke pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Konektivitas sistem pembayaran antarnegara akan membuka ruang perdagangan lintas batas yang lebih luas.
Dunia bukannya belum memiliki sarana pembayaran global. Kita memiliki Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) yang telah eksis selama 50 tahun.
Tetapi, adanya pengaruh poros kekuasaan tertentu, terlebih ditengah kondisi ketegangan geopolitik yang meningkat, keterbatasan aksesibilitas, dan demand modernisasi pembayaran cepat membuat SWIFT tak cukup menjadi penopang ekspansi ekonomi kawasan Asean.
Di tengah ekonomi dunia yang melemah dan tekanan inflasi tinggi yang masih melanda berbagai negara maju, ekonomi Asean masih resilien. Pertumbuhan ekonomi kawasan Asean pada 2022 mampu mencatatkan angka di atas lima persen. Keketuaan Indonesia untuk Asean tahun 2023 dengan tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth” pun dapat menjadi momentum unjuk gigi kekuatan ekonomi kawasan. Tema tersebut bukan sekadar mimpi di siang hari, namun sangat mungkin terwujud.
Dalam perjalanan menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi global, perbaikan struktural harus konsisten dilaksanakan di Asean. Pembayaran lintas batas di kawasan menjadi pilar yang patut digarap serius. Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran di Indonesia terus mendorong inisiatif pengembangan pembayaran lintas batas yang juga digaungkan dalam jalur ekonomi dan keuangan Keketuaan Indonesia untuk Asean 2023.
Kita dapat menyaksikan beragam inisiatif dalam membangun konektivitas sistem pembayaran di Asean. Terdapat kerja sama regional payment connectivity (RPC) yang diprakarsai oleh lima bank sentral negara anggota Asean dan terus diperluas melalui keterlibatan anggota lainnya.
Selain itu, penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) cross-border mulai diimplementasikan secara gradual di beberapa negara Asean. Dalam pengembangan pembayaran cepat (fast payment), terdapat proyek nexus payment connectivity yang dikawal sendiri oleh Bank for International Settlements (BIS).
Rencana desain central bank digital currency (CBDC) beberapa negara anggota Asean, termasuk Indonesia pun telah mempertimbangkan unsur interoperabilitas pada ranah lintas batas.
Ke depan, tantangan yang harus diatasi bersama yaitu kesenjangan infrastruktur dan kesiapan (readiness) antarnegara anggota. Tak dapat dipungkiri, keragaman struktur ekonomi negara anggota Asean mengakibatkan perbedaan level infrastuktur dan kesiapan tersebut. Kenyataan itu dapat memicu fragmentasi yang menjadi hambatan serius di lapangan.
Guna menekan fragmentasi, diperlukan kalibrasi bauran kebijakan makro serta diplomasi ekonomi yang sinambung. Pada aspek bauran kebijakan, penguatan jaring pengaman keuangan dalam kerangka Chiang Mai Initiative Multilateralisation, perluasan local currency transaction, dan inisiatif pengembangan pasar keuangan Asean dapat mendukung sistem pembayaran Asean yang makin terkoneksi.
Pada tataran diplomatis, peningkatan konektivitas sistem pembayaran harus konsisten menjadi kepentingan bersama yang terus berkumandang dalam setiap forum bilateral maupun multilateral di Asean.
Konektivitas sistem pembayaran merupakan prasyarat ekspansi ekonomi kawasan yang patut ‘dirajut’ sebagai bagian pembangunan struktural di Asean. Pembangunan tersebut akan mendukung efisiensi produktivitas ekonomi kawasan, serta merangsang investasi dan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Kesuksesan membangun sistem pembayaran terkoneksi juga menjadi cerminan kemandirian kawasan sebagai daya ungkit keunggulan ekonomi dalam mewujudkan semangat ‘Asean matters’.