Bisnis.com, BELITUNG TIMUR – Pungutan ekspor (PE) oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada dasarnya bertujuan untuk peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting, penelitian dan pengembangan, hingga mendukung program pemerintah berupa biodiesel.
Per 2023, dari Rp32,4 triliun pungutan ekspor yang terkumpul, hanya Rp1,7 triliun yang digunakan untuk peremajaan sawit. Sementara insentif biodiesel menjelaskan Rp18,5 triliun dari total dana tersebut.
Pasalnya, program PSR menjadi urgensi terkini karena menjadi musabab turunnya produksi sawit Indonesia. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengamini hal tersebut.
Eddy menjelaskan sepanjang lima tahun terakhir atau sejak 2020, produksi sawit baik crude palm oil (CPO) maupun palm kernel oil (PKO) mengalami stagnan di kisaran 50an juta ton.
Produksi total CPO dan PKO pada 2020 tercatat sebanyak 51,58 juta ton, kemudian sedikit menurun pada 2022 menjadi 51,3 juta ton.
Penurunan terus berlanjut pada 2022 dengan produksi mencapai 51,25 juta ton dan kemudian naik pada 2023 ke angka 54,84 juta ton.
Baca Juga
Sementara sepanjang tahun ini hingga Mei 2024, perkebunan sawit di Indonesia telah berhasil memproduksi CPO dan PKO sebanyak 22,15 juta ton.
"Kenapa demikian? Karena memang kita seharusnya sudah melakukan replanting, utamanya untuk sawit rakyat. Nah ini kita agak terlambat di sini yang peremajaan sawit rakyat, sehingga produktivitas kita bukannya naik malah justru turun produktivitasnya, produksi kita stagnan," tegasnya di Press Tour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian yang diselenggarakan Kemenkeu, dikutip Rabu (29/8/2024).
Eddy melihat lambatnya program PSR ini akibat kebijakan yang tumpang tindih karena regulasinya karena diurus oleh lebih dari 30 kementerian/lembaga (K/L).
Dirinya kini hanya berharap, pemerintahan selanjutnya yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming dapat memperbaiki regulasi sawit maupun percepatan PSR.
“Masalah-masalah seperti ini yang kita berharap nanti di pemerintahan baru yang akan di bulan Oktober nanti terjadi perubahan, ini harus menjadi perhatian utama,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Pengawas BPDPKS Joko Supriyono turut menyampaikan bahwa terhambatnya proses PSR ini akibat regulasi yang belum mendukung dan perlu diperbaiki.
Meski dana untuk PSR telah dinaikkan dua kali lipat pun, dari Rp30 juta per ha menjadi Rp60 juta per ha, Eddy tak yakin program akan berjalan mulus dan optimal bila regulasi tak diperbaiki.
“Jadi ini yang terus antarkementerian berusaha mencari cara, karena ini urusannya banyak kementerian. Jadi hambatannya itu di banyak kemnterian. Jadi perlu diperbaiki regulasi, prosedur,” jelasnya.
Sayangnya, perwakilan Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu yang hadir dalam kesempatan tersebut tak memberikan jawaban terkait regulasi yang belum mendukung.