Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gojek-Grab Cs Berisiko Hengkang Imbas Ketidakpastian Iklim Usaha

Ketidakpastian regulasi transportasi online di Indonesia berisiko menyebabkan perusahaan aplikasi transportasi online Gojek dan Grab hengkang. Berikut alasannya.
Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Senin (5/5/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Senin (5/5/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Ketidakpastian regulasi dalam sektor transportasi online dinilai dapat mengancam keberlangsungan operasional platform ride hailing seperti Gojek, Grab, dan lainnya di Indonesia.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti kondisi ini setelah dalam beberapa bulan terakhir terjadi beberapa aksi demonstrasi dari kelompok yang sama-sama berada dalam industri transportasi online, tapi membawa tuntutan yang saling bertolak belakang.

“Dalam kurun satu bulan terakhir saja, terjadi dua aksi demonstrasi dengan tuntutan yang saling bertentangan, yakni pada 17 Juli dan hari ini, 21 Juli. Ini menunjukkan bahwa para pihak dalam ekosistem transportasi online belum menemukan titik temu,” kata Huda kepada Bisnis, Senin (21/7/2025).

Dia memberikan salah satu contoh paling mencolok adalah perbedaan tuntutan mengenai biaya tidak langsung (komisi) platform, di mana satu kelompok meminta diturunkan menjadi 10%, sedangkan kelompok lainnya justru ingin tetap di angka 20%. Sebelumnya, aksi serupa juga sempat terjadi pada 17 Februari, 27 Februari, dan 20 Mei 2025. 

Menurut Huda, akar persoalannya terletak pada lemahnya kajian publik yang dilakukan oleh Kementerian terkait, khususnya Kementerian Perhubungan, sebelum menetapkan kebijakan. 

Padahal, regulasi yang tidak berdasarkan kajian komprehensif dapat memicu ketidakpastian dalam industri digital.

“Hal ini berkaitan dengan minimnya kajian publik yang dilakukan oleh Kementerian terkait dengan kebijakan yang diambil. Kajian mana yang menyebutkan biaya tidak langsung hanya 20%, atau 15/10% yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan?” katanya. 

Lebih lanjut, Huda menegaskan ketidakpastian regulasi dan ketegangan antara pihak aplikator dengan mitra pengemudi bisa berdampak serius pada iklim usaha. Akibatnya, lanjut dia, perusahaan bisa tidak berlanjut di bisnis ride-hailing jika iklim usaha tidak mendukung. 

“Maka saya rasa harusnya ada penyesuaian dari regulasi dan bisnis model yang memang semakin berkembang dan juga mencakup kepentingan dari semua pihak (mitra, konsumen, platform),” ujarnya.

Sementara itu, pengemudi ojek online atau driver ojol yang tergabung dalam Garda Indonesia menggelar Aksi 217 di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Aksi ini disebut sebagai puncak kekecewaan atas tidak adanya respons konkret dari pemerintah selama dua bulan terakhir.

Ketua Umum Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyatakan bahwa pemerintah terkesan lebih berpihak pada kepentingan bisnis aplikator ketimbang nasib mitra pengemudi.

“Patut dipertanyakan, pemerintah saat ini berpihak kepada rakyat atau kepada pebisnis aplikator, karena lima tuntutan dasar dari para pengemudi diabaikan berlarut-larut,” kata Igun dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/7/2025).

Berikut lima tuntutan demo ojol dalam Aksi 217:

    1.    Negara hadirkan UU Transportasi Online atau PERPPU;

    2.    Skema pembagian: Driver 90%, Aplikator 10% (harga mati);

    3.    Pemerintah menetapkan peraturan tarif antar barang dan makanan;

    4.    Audit investigatif terhadap aplikator;

    5.    Hapus fitur aceng, slot, hub, multi order, member, pengkotak-kotakan, dan kembalikan semua driver menjadi reguler.

Igun juga mengeklaim aksi ini melibatkan sekitar 50.000 pengemudi dari berbagai platform, termasuk roda dua, roda empat, dan kurir daring. Bahkan, elemen masyarakat lain seperti mahasiswa, buruh, dan pelaku UMKM juga disebut ikut bergabung karena terdampak tidak jelasnya regulasi transportasi online.

Dia pun mengkritik keras kinerja Menteri Perhubungan yang dianggap lamban dalam merespons isu ini.

“Sehingga masyarakat menilai bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tampak tidak konkret dalam menyelesaikan permasalahan transportasi online, yang seharusnya bisa diselesaikan oleh Menteri Perhubungan sejak Mei 2025 lalu,” ujarnya.

Garda Indonesia menegaskan Aksi 217 bukan aksi terakhir. Jika pemerintah tetap tidak merespons, mereka akan terus menggelar aksi lanjutan hingga akhir 2025.

“Selama Menteri Perhubungan dan Presiden tidak menanggapi tuntutan kami, maka Aksi 217 bukan aksi terakhir. Agustus hingga Desember 2025 kami akan turun ke jalan bersama aliansi pengemudi online se-Nusantara,” tegas Igun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro