Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengimbau pelaku usaha untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi perdagangan dengan pihak Bangladesh. Mempertimbangkan krisis likuiditas dan yang diperburuk dengan adanya pembatasan penarikan uang tunai oleh bank sentral negara itu.
Imbauan ini disampaikan oleh Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Kemendag Iskandar Panjaitan sebagai bentuk tindak lanjut dari informasi yang disampaikan Duta Besar RI Dhaka melalui surat Nomor B-00139/Dhaka/240822 tentang Perkembangan Situasi Ekonomi Bangladesh Pascamundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina dan Antisipasi Transaksi Perbankan.
"Mencermati perkembangan situasi terkini di Bangladesh, khususnya di sektor ekonomi pascamundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina, kami mengimbau para pelaku usaha Indonesia untuk berhati-hati dalam bertransaksi dengan lembaga maupun perseorangan dari Bangladesh,” kata Iskandar dalam siaran pers, Selasa (10/9/2024).
Imbauan tersebut, jelasnya, bertujuan mencegah kerugian yang dapat ditimbulkan dari transaksi perbankan dengan Bangladesh karena kondisi politik dan ekonomi saat ini.
Perlu diketahui, Bangladesh mengalami inflasi yang mencapai 11,66% serta tekanan pada nilai tukar mata uang tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Di sektor energi, Bangladesh Power Development Board (BPDB) sedang menghadapi beban utang sebesar BDT45.000 crore atau senilai US$4 miliar. Hal ini menjadi dipandang sebagai isu kritis bagi pemerintahan sementara yang baru dibentuk.
Baca Juga
Bangladesh Bank, sambung Iskandar, telah mengeluarkan instruksi kepada 9 bank untuk tidak melayani pencairan cek yang melebihi BDT200.000 atau setara dengan US$1.680.
Kesembilan bank tersebut, yaitu Islami Bank Bangladesh, First Security Islami Bank, Social Islami Bank, Union Bank, Global Islami Bank, Bangladesh Commerce Bank, National Bank, Padma Bank, dan ICB Islami Bank.
Selain itu, Bangladesh Bank menetapkan batas penarikan uang tunai dengan nilai tersebut per akun dalam satu hari dengan alasan mencegah penggunaan uang tunai untuk tujuan ilegal.
Menyikapi kondisi itu, Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor menyampaikan sejumlah langkah antisipatif yang dapat dilakukan para pelaku usaha Indonesia.
Pertama, mendiversifikasi produk, terutama produk tahan lama (nonperishable), dan menggunakan mekanisme pembayaran yang aman untuk menghindari risiko gagal bayar atau penundaan pembayaran.
Kedua, menggunakan perlindungan finansial yang memadai dalam perjanjian transaksi ekspor dan impor serta penggunaan bank tepercaya dalam mekanisme transaksi atau pembayaran letter of credit (L/C).
Ketiga, apabila tetap menggunakan L/C, pelaku usaha Indonesia perlu memastikan penggunaan bank internasional tepercaya yang memiliki cabang di Bangladesh.
Keempat, untuk sektor energi, Kemendag mengimbau pelaku usaha Indonesia untuk menghentikan rencana transaksi atau kerja sama dengan BPDB yang saat ini sedang menunggak pembayaran kepada pihak swasta.
Selain itu, terdapat risiko terjadinya penundaan pembayaran kepada perusahaan Indonesia yang telah melakukan transaksi dalam mendukung kebutuhan energi di Bangladesh.