10 Tahun Kebijakan Fiskal Jokowi: Deregulasi dan Upaya Pengentasan Kemiskinan Ekstrim

Indonesia dinilai sebagai negara yang paling efektif dalam menerapkan kebijakan fiskal
Gedung-gedung di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta pada Kamis (15/2/2024). - Bloomberg/Muhammad Fadli
Gedung-gedung di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta pada Kamis (15/2/2024). - Bloomberg/Muhammad Fadli

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang paling efektif dalam menjalankan kebijakan fiskal.

Bahkan kebijakan yang tepat, menjadi penyelamat untuk keluar dari krisis pandemi Covid-19. Dalam satu dasawarsa terakhir, kebijakan fiskal melalui APBN selalu diarahkan untuk menjalankan 3 fungsi utama yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Dalam pidato pengantar Nota Keuangan APBN 2025, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kebijakan fiskal pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrim dari 6,1% menjadi 0,8% dalam 10 tahun terakhir. Selain itu, anggaran pemerintah turut menjadikan pertumbuhan ekonomi stabil.

"Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang mampu pulih lebih cepat, bahkan terus bertumbuh. Pertumbuhan ekonomi kita terjaga di atas 5%, walau banyak negara tidak tumbuh, bahkan melambat," kata Presiden pada pertengahan Agustus 2024 lalu.

Sejatinya, Presiden menyebutkan, sejumlah kebijakan fiskal diluncurkan untuk memerangi kondisi terburuk. Misalnya, pemerintah telah menyalurkan Rp361 triliun dalam anggaran Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membuka akses 92 juta masyarakat miskin ke Puskesmas hingga fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL). 

Pemerintah juga telah menggelontorkan beasiswa Rp113 triliun dalam program Kartu Indonesia Pintar bagi 20 juta siswa. Juga telah disalurkan anggaran Rp225 triliun untuk 10 juta peserta program keluarga harapan dan Rp60,3 triliun dalam program Pra Kerja. 

Saat yang sama, pemerintah melancarkan operasi pengendalian inflasi hingga terjaga dalam rentang 2%-3%.

"[Capaian ini] saat banyak negara mengalami kenaikan [inflasi] yang luar biasa, bahkan ada yang mencapai lebih dari 200%," kata Presiden lebih lanjut. 

Sejak menjabat pada 2014, Pemerintah memang melakukan sejumlah pengaturan fiskal baik dari sisi pengeluaran dan pemasukan. Ini tidak lepas dari sejumlah kebijakan reformasi kebijakan yang mencerminkan upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, serta memperkuat basis pendapatan negara. 

Perinciannya saat awal menjabat pada 2014, pemerintah melakukan Pergeseran Subsidi BBM ke program yang lebih terarah seperti infrastruktur dan bantuan perlindungan sosial. Proyek pembangunan utama kemudian disatukan dalam payung proyek strategis nasional.

Reformasi fiskal ini juga diikuti dengan peluncuran deregulasi berupa Paket Kebijakan Ekonomi I-XIII yang mencakup 204 pokok deregulasi.  

Reformasi dari sisi penerimaan kemudian dijalankan dengan pembenahan sistem perpajakan nasional dengan tahap langkah pengampunan pajak (tax amnesty). Sebuah lompatan kebijakan sisi penerimaan yang bertujuan meningkatkan basis pajak dan mengembalikan aset warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri.

Presiden Jokowi juga mendorong efisiensi dengan mengoptimalkan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) melalui optimalisasi peran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Digitalisasi ini selain mendorong efisiensi juga meningkatkan transparansi dalam belanja negara.

Reformasi besar dalam sisi penerimaan juga dilakukan dengan lahirnya Undang-Undang No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sedangkan sektor keuangan, dilakukan penguatan melalui Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). 

Kepala Eksekutif Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, pada September 2023 menjelaskan bahwa UU P2SK menjawab berbagai tantangan modern di sektor keuangan. "Undang-undang ini menjadi warisan penting yang menyesuaikan industri keuangan dengan perkembangan zaman," ujar Friderica, yang akrab disapa Kiki.

Friderica menambahkan bahwa UU P2SK mengubah 17 peraturan di sektor keuangan, termasuk UU Pasar Modal yang sudah berusia 28 tahun sejak diterbitkan pada 1995, dan peraturan sektor perbankan yang terakhir direvisi pada 1998. Menurutnya, inovasi teknologi yang berkembang pesat menuntut penyesuaian peraturan di sektor ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper