Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat Soroti Pilih Kasih Pemerintah: Ngotot PPN 12%, Namun Pajak Karbon Masih Tertunda

Pengamat menyoroti langkah pemerintah yang ingin menaikkan PPN menjadi 12% tahun depan, namun di sisi lain menunda pajak karbon yang seharusnya berlaku 2022.
Petugas membantu wajib pajak melapor surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan (pph) orang pribadi di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Sabtu (16/3/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Petugas membantu wajib pajak melapor surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan (pph) orang pribadi di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Sabtu (16/3/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyoroti ketidakjelasan pemerintah dalam pengimplementasian peraturan pemungutan pajak. 

Pemerintah di satu sisi ngotot ingin menaikkan PPN menjadi 12% pada tahun depan, namun di sisi lain bersedia menunda penerapan pajak karbon yang seharusnya berlaku pada 2022.

Fajry menjelaskan, kenaikan PPN dan penerapan pajak karbon tersebut sama-sama diamanatkan oleh Undang-undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, pemerintah seakan pilih-pilih dalam menerapkan amanat dalam UU HPP tersebut.

"Keduanya sudah ada time frame waktu implementasi sebenarnya [dalam UU HPP]. Baik keduanya punya hambatan politik yang sama beratnya ketika legislasi," ujar Fajry kepada Bisnis, Kamis (10/10/2024).

Dalam UU HPP, diatur bahwa pajak karbon harus diterapkan pada 1 April 2022. Kemudian, pemerintah memutuskan untuk mengundurnya ke 1 Juli 2022. Kendati demikian, hingga kini pemerintah juga tidak menerapkan pajak karbon tersebut.

Berbeda, penundaan tersebut seakan tidak berlaku untuk kenakan tarif PPN. Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikan tarif pajak menjadi 12% akan tetap diterapkan 1 Januari 2025 sesuai yang diamanatkan UU HPP.

Fajry melihat, sikap yang tidak konsisten dari pemerintah tersebut menunjukkan kurangnya political will alias kemauan politik. Dia pun mewanti-wanti dampak negatif ke sistem perpajakan ke depan.

"Dampaknya akan spesifik ke pungutan pajak karbon, kebijakan ini menjadi tidak kredibel lagi. Terlebih dalam APBN 2025 tidak ada pos penerimaan pajak karbon," katanya.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menyatakan pihaknya akan mengikuti amanat UU HPP ihwal penyesuaian tarif PPN. Artinya, tarif PPN akan naik 1% dari 11% menjadi 12% pada tahun depan.

"Penyesuaian tarif PPN menjadi 12% merupakan amanat UU HPP. Mengenai waktu implementasinya, kami berpedoman pada amanat UU HPP, yaitu paling lambat 1 Januari 2025," kata Dwi kepada Bisnis, dikutip Kamis (10/10/2024).

Sementara itu, ihwal pajak karbon, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah masih menyiapkan aturan teknis seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum akhirnya pajak karbon dapat diterapkan di Indonesia. Pemerintah, sambungnya, juga harus memerhatikan kesiapan industri.

“Kita siapkan terus building block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya, kesiapan dari sisi perekonomian dan industrinya,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Djakarta Theater, Sabtu (24/8/2024).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper