Bisnis.com, JAKARTA - Kemenangan Donald Trump pada Pilpres AS akan berdampak pada perubahan kebijakan Negeri Paman Sam terkait masalah iklim, mulai dari peningkatan produksi minyak mentah hingga kembali menarik AS dari Perjanjian Paris.
Donald Trump tidak merahasiakan pandangannya mengenai perubahan iklim. Selama masa jabatan presiden pertamanya pada 2017-2021, Trump berulang kali menyatakan keraguan bahwa hal tersebut disebabkan oleh perilaku manusia, dan menyebutnya sebagai tipuan.
Saat kampanye untuk masa jabatan kedua, dia menyebut perubahan iklim sebagai salah satu penipuan terbesar sepanjang masa.
Peneliti senior di Council on Foreign Relations, Alice Hill menyebut, kemenangan Trump menghadirkan hambatan nyata dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.
“Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, Amerika Serikat hampir pasti akan mundur dari upaya global dan domestik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan produksi bahan bakar fosil," kata Hill dikutip dari Deutsche Welle (DW) pada Kamis (14/11/2024).
Laporan dari Copernicus Climate Change Service mencatat, tahun 2024 hampir pasti menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dan tahun pertama pemanasan di atas 1,5 derajat Celcius. Para ilmuwan telah lama memperingatkan perlunya mengurangi setengah emisi pemanasan global pada tahun 2030 untuk menghindari bencana iklim.
Baca Juga
Untuk mencapai tujuan tersebut, negara-negara di dunia perlu bekerja sama. Namun, para ahli memperingatkan bahwa kebijakan “America First” yang diusung Trump tidak sejalan dengan kolaborasi global dalam aksi iklim – meskipun AS saat ini merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah China, dan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dalam sejarah.
Genjot Produksi Minyak
Menjelang pilpres, Trump berjanji untuk memperluas produksi bahan bakar fosil dalam negeri, lebih fokus pada minyak dan gas, serta mengurangi pengeluaran untuk energi ramah lingkungan.
“Donald Trump dan para pendukungnya jelas mempunyai pandangan bahwa minyak dan gas sangat penting bagi kekuatan global Amerika dan hal ini tidak boleh dipermainkan,” kata Clarence Edwards, Direktur Eksekutif E3G di Washington.
Pada masa jabatan pertamanya, pemerintahan Trump mendorong peningkatan pengeboran minyak dan gas alam, termasuk di kawasan lindung seperti Suaka Margasatwa Nasional Arktik di Alaska, dan memperjuangkan pembangunan jaringan pipa seperti Keystone XL dan Dakota Access.
Bahkan sebelum pemilu, Trump telah mengisyaratkan bahwa dia akan melanjutkan tren ini jika dia menang. Namun Edwards mengatakan hal ini bukan berarti energi terbarukan akan hilang sama sekali, hanya saja pemerintahan mendatang akan lebih fokus pada hidrokarbon.