Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah menerapkan beragam peraturan untuk menjaga industri Tanah Air, tidak terkecuali industri petrokimia hulu dan hilir, salah satunya plastik.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Susila Brata menyampaikan saat ini pemerintah menerapkan trade remedies melalui tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard dan Bea Masuk Anti Dumpung (BMAD) terkait komoditas petrokimia.
"Trade remedies merupakan instrumen yang dapat dipergunakan oleh negara anggota WTO untuk mengendalikan importasi barang dalam rangka melindungi produsen domestik/industri dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas," ujarnya dalam Bisnis Indonesia Forum: Dukungan Pemerintahan Baru Genjot Manufaktur Petrokimia, Kamis (21/11/2024).
Secara umum untuk memberikan kemudahan usaha, barang untuk bahan baku di petrokimia hulu yang tidak tersedia di dalam negeri tidak diberikan pengaturan tata niaga, kecuali barang tersebut tergolong dalam produk Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L).
Sementara sebagian besar produk petrokimia hilir (plastik hilir, urea, ban, nilon dan serat polyester) telah dikenakan tata niaga impor baik border maupun post border. Namun, beberapa produk tidak diatur tata niaga impornya.
Pertama, PMK No. 174/2021 tentang BMTP Expansible Polystyrene (EPS) dengan kode HS 3903.11.10. EPS merupakan plastik berbentuk busa berwarna putih yang banyak digunakan dalam industri bangunan, konstruksi, dan pengemasan.
Baca Juga
Kedua, PMK NO. 11/2021 jo PMK No. 37/2022 tentang BMAD Biaxially Oriented Polyethylene Terephtalate (BOPET) dari India, China, dan Thailand.
BOPET merupakan film poliester yang dibuat dengan meregangkan polyethylene terephthalate (PET). Umumnya digunakan untuk menyimpan dokumen arsip, mengemas kartu dagang (seperti Yu-Gi-Oh!), maupun karya seni holografik.
Ketiga, PMK No. 60/2024 tentang BMAD Produk Biaxially Oriented Polypropylene (BOPP) dari Malaysia dan China.
PMK No. 60/2024 merupakan belied teranyar yang pemerintah keluarkan pada September lalu—dan berlaku hingga 2029—sebagai hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia.
Terbukti bahwa terjadi dumping atas impor barang yang dilakukan oleh Malaysia dan China dan menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri serta ditemukan hubungan kausal antara dumping dengan kerugian yang dialami industri dalam negeri.
Bea masuk antidumping dikenakan terhadap impor produk berupa BOPP dalam bentuk film yang termasuk dalam pos tarif 3920.20.10 dan dalam bentuk pelat, lembaran, foil, dan strip lainnya yang termasuk dalam pos tarif ex3920.20.91 dan ex3920.20.99.
Secara terperinci, Indonesia mengenakan bea masuk antidumping untuk perusahan Malaysia yakni Stenta Films (M) Sdn. Bhd sebesar 18,60% dan Scientex Great Wall Sdn. Bhd 6,36%. Perusahaan lainnya dikenakan sebesar 18,60%.
Kemudian, untuk perusahaan China yakni Zhejiang Kinlead Innovative Materials Co., Ltd dikenakan bea masuk antidumping sebesar 6,73%, Guangdong Decro Package Films Co., Ltd 5,76%, dan Furonghui Industrial (Fujian) Co., Ltd 10,75%. Lalu, Suqian Gettel Plastic Industry Co., Ltd sebesar 7,99% dan perusahaan lainnya dikenakan bea masuk antidumping sebesar 29,95%.
Meski demikian, tercatat Plastik dan Barang dari Plastik menjadi salah satu komoditas utama impor Indonesia setelah Mesin/Peralatan Mekanis dan Mesin/Perlengkapan Elektrik.
Per Oktober 2024, nilai impor komoditas tersebut mencapai US$0,98 miliar atau naik 5,52% secara bulanan dan naik 13,63% secara tahunan.
Susila hal tersebut sejalan dengan data tren impor, tampak terjadi peningkatan impor pada produk plastik hilir, serat Poliester, Nilon, dan polipropilena. Produk seperti Carbon Black/Asetilena dan Urea bergerak fluktuatif dan tidak menunjukan adanya tren meningkat.