Bisnis.com, JAKARTA - Pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber penyediaan listrik dapat menjadi salah satu strategi mencapai swasembada energi Indonesia, termasuk di perdesaan.
Melalui arahan Presiden Prabowo pada Pidato Pelantikan (20/10/2024), Indonesia akan berfokus pada pengelolaan energi terbarukan untuk mencapai swasembada energi sesuai dengan Asta Cita.
Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas, Ervan Maksum mengatakan bahwa untuk mencapai target transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saja.
Menurutnya, transisi energi di Indonesia memerlukan pembiayaan alternatif dari sumber-sumber nonpemerintah, dan pelibatan modal swasta untuk mencapai target-target di sektor ketenagalistrikan.
Untuk itu pemerintah menyiapkan kerangka regulasi dan kebijakan untuk memobilisasi pendanaan dan investasi swasta tersebut.
“Kolaborasi dengan berbagai perusahaan swasta dan lembaga pemilik modal sangat diperlukan. Salah satu inisiatif yang dapat ditawarkan kepada perusahaan adalah penggunaan dana environment, sustainability and governance [ESG] yang diarahkan untuk mendukung proyek energi terbarukan di desa, sebagai kewajiban perusahaan untuk menurunkan emisi karbon dari aktivitas bisnis yang dilakukan,” tegas Ervan dalam siaran pers, Senin (25/11/2024).
Baca Juga
Sementara itu, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Taufiq Hidayat Putra menyatakan bahwa perencanaan sektor ketenagalistrikan di Indonesia mencakup akses listrik yang berkualitas, tidak hanya ke industri, tapi juga untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama di desa.
“Pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan harus bahu-membahu untuk mencapai transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Kita harus mendukung saudara-saudari kita yang berada di desa khususnya untuk menikmati listrik yang bersih, aman dan terjangkau dengan potensi energi terbarukan di daerah masing-masing," ujarnya.
Dengan listrik yang berkualitas, sambungnya, masyarakat desa bisa menerima berbagai manfaat di berbagai bidang, salah satunya modernisasi dalam aktivitas pertanian atau yang sering disebut dengan electrifying agriculture.
"Sedangkan di desa nelayan, akses listrik berkualitas memungkinkan penyediaan cold storage untuk menyimpan hasil tangkapan ikan segar lebih lama," imbuhnya.
Taufiq menjelaskan bahwa untuk menghasilkan listrik yang andal di desa, tantangan terkait spatial mismatch antara lokasi energi terbarukan listrik dengan lokasi pusat industri dan kegiatan ekonomi, serta masyarakat, perlu dijawab melalui perencanaan yang holistik, integratif, dan komprehensif.
Caranya adalah dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi listrik yang terintegrasi dengan rencana pembangunan pembangkit listrik terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menegaskan Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan peta jalan transisi energi dengan pilihan biaya yang paling murah, menjamin kehandalan pasokan yang optimal, dan berkeadilan.
Menurut Fabby, lewat transisi energi terbarukan Indonesia dapat meningkatkan ambisi penurunan emisi GRK yang selaras dengan target 1,5 derajat celcius yang disasar oleh Persetujuan Paris.
“Penurunan emisi menjadi hal sangat penting bagi Indonesia, karena sebagai negara kepulauan, masyarakat di daerah 3T [terdepan, terluar dan tertinggal] sangat rentan terhadap -dampak yang disebabkan oleh peningkatan suhu bumi," ujarnya.
Dia menilai, menyediakan listrik, andal, terjangkau, dan bersih di daerah perdesaan dan 3T sangat dimungkinkan dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat untuk mengganti 3 GW PLT Diesel yang tersebar.
Di lain sisi, untuk meningkatkan daya tarik bagi investor, Deni Gumilang, Project Lead Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE for SEA) di Indonesia, GIZ Energy Program for Indonesia/Asean menggarisbawahi pentingnya pengembangan instrumen policy derisking yang bertujuan untuk memitigasi risiko transaksi, mengingat tantangan dalam kebijakan dan regulasi masih dianggap sebagai hambatan utama dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Selain itu, instrumen mitigasi risiko keuangan juga perlu dikembangkan secara paralel untuk menciptakan momentum yang memungkinkan optimalisasi penyaluran pendanaan dari para investor, guna mendorong pertumbuhan pasar energi terbarukan.
"Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan yang menarik minat banyak investor. Namun, tingginya risiko dalam proyek-proyek energi terbarukan menjadi hambatan bagi masuknya investasi. Penerapan instrumen-instrumen policy and finance derisking diharapkan dapat membuka peluang implementasi pembiayaan yang real bagi Indonesia," jelas Deni.
Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi terbarukan di Indonesia sebesar mencapai 3.686 GW.
Bahkan kajian IESR (2022) mengindikasikan adanya potensi energi terbarukan yang lebih besar, mencapai lebih dari 7.800 GW, dengan lebih dari 75 persen merupakan sumber energi surya.
Namun, besarnya potensi energi terbarukan yang ada belum termanfaatkan secara optimal, khususnya di daerah perdesaan.