Bisnis.com, JAKARTA — Menghitung hari jelang kenaikan PPN menjadi 12% pada Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan klaim bahwa pemerintah sudah memberikan sederet insentif untuk menopang daya beli.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti menyampaikan pada dasarnya kebijakan ini telah disetujui oleh para wakil rakyat alias DPR melalui Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Bahkan dalam beleid yang diteken oleh presiden, termasuk di dalamnya sederet insentif untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) maupun perusahaan dalam rangka menjaga daya beli masyarakat.
“Sebelum kenaikan PPN 1% itu sudah banyak sekali program-program pemerintah yang memperkuat daya beli masyarakat,” ujarnya dalam kanal YouTube Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (26/11/2024).
Sebagai contoh, pemerintah menaikkan angka Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari sebelumnya Rp50 juta per tahun, menjadi Rp60 juta. Dengan demikian, WP OP yang memiliki pendapatan di bawah Rp60 juta, bebas pajak.
Dalam UU HPP pun diperkenalkan PTKP bagi WPOP UMKM. Di mana UMKM yang memilik omzet sampai dengan Rp500 juta, tarifnya 0% loh alias tidak bayar pajak.
Baca Juga
Sementara bagi yang memiliki omzet Rp500 juta sampai dengan Rp4,8 miliar, mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5%.
Fasilitas pengurangan pajak juga pemerintah berikan kepada PPh Badan yang sebelumnya sebesar 25%, turun menjadi 22%.
Pada kesempatan tersebut, Dwi Astuti juga menekankan bahwa tidak semua barang maupun jasa dikenakan PPN.
Seperti halnya kebutuhan pokok, daging, sayur, buah, telur susu, hingga beras dan telur pun bebas dari pajak. Begitu pula dengan jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa asuransi hingga transportasi umum dikenakan tarif 0%.
Dirinya menegaskan kenaikan PPN yang telah dirancang sejak tiga tahun lalu tersebut sejalan dengan langkah pemerintah dalam memperkuat daya beli masyarakat.
“Penyesuaian tarif ini pasti didahului oleh sebuah kajian yang mendalam dan kemudian juga didahului dengan program-program atau inisiatif-inisiatif pemerintah yang tadi memperkuat daya beli masyarakat,” ujarnya.
Daya Beli Berisiko Turun
Meski demikian, sederet kelompok masyarakat menolak kenaikan PPN menjadi 12% tersebut karena akan membebani daya beli.
Melihat daya beli masyarakat yang tercermin dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Indeks Harga Konsumen (IHK), daya beli terpantau lesu sejak Mei 2024 karena mengalami deflasi bulanan.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga—yang memiliki distribusi lebih dari 50% terhadap pertumbuhan ekonomi—tercatat tumbuh stagnan pada 2022 dan 2023 yang masing-masing sebesar 4,93% year on year (YoY) dan 4,82%.
Bahkan masyarakat yang diwakilkan oleh akun Bernama Bareng Warga membuat Petisi "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" terdapat di laman change.org sejak Selasa (19/11/2024).
Hingga Selasa (26/11/2024) pukul 12.40 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 11.584 orang. Khusus pada hari ini, tercatat sebanyak 4.271 orang telah menandatangani petisi tersebut.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono membuktikan bahwa PPN 12% otomatis akan menggerus daya beli masyarakat hingga 11,11%.
Sebagai contoh, Badu memiliki dana Rp1 juta dan akan membeli barang dengan harga Rp 100.000/unit. Tanpa PPN, Badu dapat membeli 10 barang.
Jika sebelumnya dengan tarif PPN 11% Badu dapat membeli sembilan unit barang (harga per barang Rp111.000 x 9 = Rp999.000), kini dengan tarif PPN 12% hanya mampu membeli delapan unit barang karena total yang dibayarkan Rp896.000 (harga per barang Rp112.000 x 8 = Rp896.000).
“Kondisi demikian dapat digunakan sebagai ilustrasi bahwa penurunan daya beli Badu setara dengan 1/9 atau 11,11%,” ujarnya, Minggu (24/11/2024).
Para buruh pun menuntuk agar pemerintah turut mengerek naik upah pada tahun depan, setidaknya 20% untuk mengantisipasi penurunan daya beli pada tahun depan.