Bisnis.com, JAKARTA — Sebagian ekonom mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undnag (Perppu) untk pembatalan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% pada awal tahun depan. Setidaknya terdapat tiga alasan kenaikan pajak ini dapat dibatalkan.
Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) Mhd Zakiul Fikri melihat dengan situasi mendesak dan norma hukum terkait tidak memadai, pemerintah dapat membatalkan kenaikan PPN melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Langkah ini diperlukan untuk mencegah dampak buruk bagi ekonomi dan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (24/12/2024).
Pasalnya, Perppu bukanlah hal baru dalam politik regulasi Indonesia pada 10 tahun terakhir. Selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saja, pemerintah menerbitkan delapan Perppu.
Fikri menyampaikan setidaknya ada tiga alasan mengapa Perppu pembatalan kenaikan PPN 12% harus dikeluarkan. Pertama, norma kenaikan PPN menimbulkan masalah hukum yang mendesak untuk diselesaikan.
Masalah hukum itu mulai dari inflasi atau naiknya harga barang jasa, merosotnya kemampuan konsumsi rumah tangga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tertekannya UMKM, industri manufaktur dan potensi menambah jumlah rakyat miskin di Indonesia.
Baca Juga
Kedua, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak memadai karena tidak memuat kepatutan dan keadilan hukum.
Ketiga, kondisi saat ini tidak mungkin diatasi dengan cara membuat atau merevisi undang-undang melalui prosedur biasa, mengingat memakan waktu yang cukup lama sementara keadaan telah mendesak karena mengacu amanat UU HPP, PPN 12% akan berlaku per 1 Januari 2025.
Sementara, DPR RI sedang berada pada masa reses dari 6 Desember 2024 sampai 15 Januari 2025 sehingga tidak mungkin persoalan tersebut dibicarakan bersama dalam waktu dekat.
Fikri memandang menjelang akhir tahun ini menjadi kesempatan Prabowo untuk menerbitkan Perppu yang berpihak pada masyarakat menengah bawah yang tengah terhimpir berbagai kesulitan ekonomi.
Celios dalam kajian sebelumnya pun melihat bahwa pemerintah masih punya banyak cara untuk menambah kas negara, selain PPN.
Seperti penerapan pajak windfall profit (keuntungan anomali perusahaan ekstraktif), PPh Badan yang lebih progresif, pajak kekayaan (Rp81,6 triliun/tahun), pajak karbon (Rp69 triliun per tahun, pajak produksi batubara (Rp47 triliun/tahun).
Senada, Senior Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi memandang belum ada urgensi penerapan PPN 12% pada tahun depan, kecuali amanah UU HPP. Sementara peraturan tersebut, nyatanya bisa diintervensi melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu.
Menurutnya, semangat menaikkan PPN dalam Undang-Undang (UU) No.7/2021 yang diteken pada tiga tahun silam sudah berbeda dengan kondisi sekarang.
Kala itu, defisit fiskal diperbolehkan di atas 3% dan berdampak pada pembiayaan yang cukup besar. Melalui semangat untuk menambah penerimaan negara, PPN naik menjadi 11%.
“Saat itu semangatnya bisa dimengerti. Dengan semangat itu kalau kita translasikan ke sekarang ya sebenarnya sudah enggak relevan lagi karena sekarang pun defisitnya [APBN 2024] mungkin enggak sampai 2%,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (4/12/2024).