Bisnis.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykal Hubeis mengungkapkan pengaruh pembatasan produksi nikel RI terhadap bisnis smelter.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya disebut berencana mengurangi kuota produksi bijih nikel dari 272 juta ton menjadi 150 juta ton pada tahun depan.
Hal ini bertujuan untuk mendongkrak harga nikel di pasaran. Adapun diskusi mengenai besarnya potensi pemangkasan kuota sedang berlangsung di dalam pemerintahan.
Menurut Haykal, pembatasan produksi nikel berpotensi menaikkan biaya operasional produksi. Hal ini terjadi lantaran operasional smelter bakal berkurang, sementara ongkos tetap tinggi.
"[Pembatasan produksi nikel] jelas berdampak pada sisi operasional dimana besar kemungkinan biaya operasional akan tinggi," kata Haykal kepada Bisnis, Kamis (26/12/2024).
Dari sisi pendapatan, kata dia, pembatasan produksi nikel berpotensi menurunkan income. Sebab, produksi dibatasi dan ada potensi untuk menyesuaikan jumlah tenaga kerja.
Baca Juga
Oleh karena itu, Haykal mengingatkan pemerintah mempertimbangkan adanya masa transisi sebelum melakukan pembatasan produksi nikel.
Menurutnya, hal ini penting untuk memastikan bahwa semua smelter baik yang berskala besar maupun menengah punya waktu untuk menyesuaikan di internal masing-masing.
"Sebab kemampuan dan kekuatan [bisnis perusahaan smelter] berbeda satu sama lain," imbuh Haykal.
Lebih lanjut, Haykal mengamini pembatasan produksi nikel positif jika tujuannya untuk menjaga harga di pasar global. Selain itu, pembatasan itu juga penting jika tujuannya untuk menjaga umur tambang supaya lebih lama, atau meminimalkan potensi dampak lingkungan.
Namun, dia mengingatkan pembatasan produksi nikel itu jangan jadi intervensi pemerintah terhadap pasar. Haykal menyebut, jika pemerintah malah intervensi, akan mengganggu kepercayaan investor.
"Jika dilihat sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap pasar maka ceritanya akan berbeda di mata para investor," kata Haykal.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung tak membantah ataupun membenarkan wacana mengurangi kuota produksi bijih nikel dari 272 juta ton menjadi 150 juta ton pada tahun depan.
Dia hanya mengatakan, pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu rencana produksi nikel yang diajukan perusahaan-perusahaan tambang lewat rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
"Pembatasan ini sesuai dengan rencana perusahaan, mereka akan menyampaikan RKAB, itu sesuai RKAB mereka, pasok ke mana. Jadi justru ini yang akan kami lihat lebih dahulu," tutur Yuliot saat ditemui di Medan, Sumatera Utara, Senin (23/12/2024).
Di sisi lain, Yuliot menuturkan, pemerintah akan tetap menggenjot hilirisasi nikel guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Dia juga memastikan kebutuhan nikel untuk industri domestik harus tetap terpenuhi.
"Program hilirisasi untuk memberikan nilai tambah dalam negeri itu tetap akan berjalan. Jadi nanti untuk nikel kita harus lihat hilirisasinya sejauh mana dan menfaat bagi industri, termasuk rantai pasok yang ada harus mencukupi," jelas Yuliot.