Bisnis.com, JAKARTA — Ekonomi China pada 2025 dihadapkan pada risiko pengenaan tarif dari presiden terpilih AS Donald Trump, usai berhasil tumbuh lebih dari yang diharapkan pada 2024 karena adanya stimulus kilat dan ledakan ekspor.
Melansir dari Bloomberg, Sabtu (18/1/2025), produk domestik bruto (PDB) China pada kuartal IV/2024 tumbuh 5,4% dan menandai laju tercepat dalam enam kuartal. Lonjakan ini membawa pertumbuhan setahun penuh menjadi 5%.
Sekalipun pemerintah China memberikan stimulus pada akhir tahun tersebut, pertumbuhan konsumsi tahunan tetap berada di bawah tingkat sebelum pandemi, investasi properti mengalami kontraksi terbesar sepanjang sejarah dan deflasi berlanjut selama dua tahun berturut-turut.
Setelah disesuaikan dengan penurunan harga, PDB nominal hanya tumbuh 4,2% pada 2024, yang paling lambat sejak ekonomi dibuka pada akhir 1970-an, kecuali pandemi.
Ekonom Societe Generale SA Wei Yao dan Michelle Lam menyampaikan pemulihan ekonomi tersebut hanya bersifat tentatif dan konsumsi masih cukup rapuh.
“Para pembuat kebijakan perlu melakukan dorongan fiskal yang lebih kuat pada tahun 2025 untuk memastikan stabilitas pertumbuhan,” ujarnya.
Baca Juga
Bersiap menghadapi Trump
China akan mengumumkan target pertumbuhannya untuk 2025 pada sidang parlemen tahunan di bulan Maret.
Namun, untuk mencapai pertumbuhan 5% mungkin akan lebih sulit tahun ini bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini. Pasalnya Presiden terpilih AS Donald Trump, yang akan kembali ke Gedung Putih minggu depan, telah mengancam tarif setinggi 60% untuk barang-barang China.
Hal ini dapat menghancurkan perdagangan dengan negara Asia tersebut dan merusak pendorong pertumbuhan yang menyumbang sekitar seperempat pertumbuhan pada 2024.
Kepala ekonom China di BNP Paribas SA Jacqueline Rong melihat titik terang terbesar dalam perekonomian tahun lalu adalah ekspor, yang sangat kuat terutama jika faktor harga dikecualikan.
“Itu berarti masalah terbesar tahun ini adalah tarif AS,” tuturnya.
Ancaman tarif Trump mendorong bisnis global untuk meningkatkan pengiriman dan mendukung ekspansi ekonomi tahun lalu. Namun, dorongan tersebut dapat memudar dalam beberapa bulan mendatang karena potensi pungutan, termasuk dari Uni Eropa dan mitra dagang lainnya, membuat ekspor China menjadi kurang kompetitif.
Meskipun pemerintah telah mengisyaratkan bahwa mereka memiliki ruang kebijakan yang cukup untuk menstimulasi ekonomi, efektivitas belanja publik telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Para pejabat telah berjuang untuk menemukan proyek-proyek infrastruktur yang cukup tepat untuk dibangun sementara investasi swasta telah menyusut. Dorongan manufaktur lebih lanjut akan berisiko memperburuk kelebihan kapasitas pabrik dan keluhan dari para mitra dagang bahwa negara ini membanjiri pasar global dengan barang-barang murah.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah China berencana untuk memperluas program dengan mensubsidi perusahaan dan konsumen untuk meningkatkan peralatan dan perlengkapan.
Uang pensiun dan subsidi untuk asuransi kesehatan beberapa kelompok akan naik dan dapat mendorong rumah tangga untuk membelanjakan uangnya daripada menabung.
Pemerintah mengalokasikan 300 miliar yuan (US$40,9 miliar) —yang diperoleh dari penjualan obligasi khusus tahun lalu—untuk mendanai program peningkatan peralatan dan tukar tambah barang konsumen.
Langkah tersebut diproyeksi kepala ekonom untuk Greater China di Bank of America Helen Qiao dapat berlipat ganda menjadi 600 miliar yuan tahun ini.
Para pejabat juga mengizinkan obligasi lokal khusus untuk digunakan oleh pemerintah kota untuk mengakuisisi rumah-rumah yang tidak terjual dan membeli kembali tanah yang tidak terpakai.
Namun, kemajuan telah lambat dalam inisiatif untuk mengurangi persediaan perumahan, serta dalam upaya yang dipimpin oleh pemerintah untuk merenovasi desa-desa perkotaan.
Hal ini berkontribusi pada sentimen yang sangat lemah di antara para pengembang China, dengan investasi real estat anjlok 10,6% tahun lalu atau menjadi yang terburuk sejak pencatatan dimulai pada 1987.
Kepala ekonom China di Nomura Holdings Inc. Lu Ting mengkhawatirkan China tidak akan cukup untuk meningkatkan ekonominya usai tumbuh sesuai target akibat stimulus jumbo.
“Sederhananya, terlepas dari data yang optimis hari ini, sekarang bukan waktunya bagi Beijing untuk berpuas diri,” tuturnya.