Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies alias Celios memberikan nilai E untuk kebijakan fiskal dan perpajakan selama 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Celios mengakui bahwa pemerintahan Prabowo telah membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12% untuk barang umum. Kendati demikian, pengumumannya yang dilakukan pada menit-menit akhir dan terlanjur membuat harga barang naik.
Di samping itu, Celios juga menekankan banyak opsi pajak lain apabila pemerintah memang ingin menambah penerimaan negara. Celios pun mendorong pemerintah memajaki industri perusak lingkungan melalui pajak karbon, pajak peningkatan laba (windfall tax), hingga pajak sektor batu bara.
Celios juga memberi nilai E untuk kebijakan ketahanan pangan dan energi dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo. Alasannya, pemerintah berencana membuka hutan seluas 20 juta Ha untuk sektor pangan dan energi sehingga mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat adat.
Nilai E turut disematkan untuk kebijakan konservasi laut, kawasan pesisir, dan pulau kecil dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo. Celios melihat konservasi wilayah kelautan belum mempertimbangkan aspek nasib warga pesisir dan pulau kecil seperti kasus pagar laut di kawasan Teluk Jakarta.
Terakhir, Celios memberikan nilai D untuk kebijakan ketenagakerjaan dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo. Celios mencatat pemerintah terlalu sibuk urusan hilirisasi namun lupa dengan sektor manufaktur sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 80.000 buruh.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira pun menekan hilirisasi yang dipromosikan pemerintah masih minim manfaat ekonomi dan sarat bencana lingkungan. Hilirisasi, sambungnya, masih terjebak pada olahan primer sehingga kurang berkorelasi dengan upaya mencegah deindustrialisasi prematur.
"Pembangunan smelter terus didorong beserta paket PLTU batu bara di kawasan industri, namun porsi industri manufaktur terhadap PDB tetap dibawah 20% tentu ini butuh koreksi besar-besaran kebijakan hilirisasi," ujar Bhima dalam acara Omon-Omon Kesejahteraan: Rapor Bayangan 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran yang digelar Greenpeace dan Celios pada Kamis (23/1/2025).
Secara historis, dia merincikan pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia selama Era Reformasi hanya mencapai 6,3% pada 2007. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, tambahnya, pertumbuhan stagnan di kisaran 5% meski janjinya 7 %.
Oleh sebab itu, Bhima menilai target pertumbuhan ekonomi 8% Prabowo terlalu ambisius di tengah pelemahanan ekonomi yang terjadi belakangan. Takutnya, ambisi pertumbuhan tersebut malah hanya mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
"Stagnasi 10 tahun terakhir telah memicu bencana alam dan memperlebar ketimpangan ekonomi. Ambisi [pertumbuhan ekonomi] 8% justru berisiko memperparah kondisi ini karena hanya menguntungkan segelintir orang kaya dan pejabat di lingkup pengelolaan SDA," tutup Bhima.