Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian paket insentif fiskal ke sejumlah sektor industri padat karya, seperti keringan pajak hingga subsidi energi.
Usulan itu merespons permintaan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani yang sebelumnya mendorong pemerintah memberikan insentif fiskal tambahan untuk menopang industri padat karya yang tengah tertekan.
Hanya saja, Yusuf menilai usulan insentif fiskal untuk industri padat karya perlu dilakukan secara selektif dan berbasis pemetaan sektoral. Menurutnya, situasi ekonomi saat ini berbeda dengan masa pandemi Covid-19 yang mendorong insentif diberikan secara luas.
“Tidak semua sektor padat karya mengalami tekanan yang sama. Misalnya, sektor tekstil dan produk tekstil [TPT] mungkin lebih tertekan dibandingkan sektor makanan-minuman atau alas kaki. Pemetaan ini penting untuk memastikan bahwa insentif tidak diberikan secara menyamaratakan, melainkan tepat sasaran,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Rabu (23/7/2025).
Dia menjelaskan bahwa meskipun ketidakpastian global masih tinggi akibat konflik geopolitik, kebijakan tarif Amerika Serikat (AS), perlambatan ekonomi China, dan tekanan nilai tukar serta suku bunga, dampaknya saat ini bersifat lebih sektoral dan tidak menyeluruh seperti saat pandemi.
Kendati demikian, ada satu persamaan yang menurutnya signifikan yaitu perlambatan permintaan—baik dari pasar ekspor maupun domestik. Perlambatan permintaan, sambungnya, menekan daya saing dan keberlangsungan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja informal dan berupah rendah.
Baca Juga
Di samping itu, Yusuf mengingatkan bahwa ruang fiskal pemerintah saat ini tidak seleluasa masa pandemi. Oleh karena itu, insentif harus diprioritaskan untuk sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pemulihan permintaan dalam negeri.
“Insentif seperti PPh 21 Ditanggung Pemerintah [DTP] untuk pekerja upah rendah dan relaksasi PPh Badan bisa saja dipertimbangkan lagi, tetapi skalanya mungkin tidak sebesar saat pandemi,” ucapnya.
Tak hanya keringanan pajak, Yusuf juga menilai pemerintah bisa mempertimbangkan subsidi biaya energi industri, seperti listrik dan gas pada jam sibuk, yang menurutnya merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi.
Selain itu, dia juga menilai bahwa insentif non fiskal seperti fasilitasi ekspor dapat menjadi opsi yang berdampak nyata. Yusuf menyarankan langkah-langkah seperti pengurangan tarif logistik, simplifikasi dokumen ekspor, hingga percepatan restitusi PPN dapat membantu pelaku usaha.
“Insentif semacam ini tidak langsung mengurangi beban fiskal, tapi memberi ruang napas cukup besar bagi pengusaha,” tutupnya.
Permintaan Pengusaha untuk Dukung Industri Padat Karya
Sebelumnya, Apindo mendorong pemerintah untuk kembali memberikan insentif fiskal bagi sektor industri padat karya. Dorongan itu muncul di tengah tekanan ekonomi global akibat kebijakan dagang AS yang dinilai semakin menekan daya saing industri dalam negeri, terutama padat karya seperti tekstil.
Shinta mengatakan pihaknya telah menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah. Saat ini, sambungnya, pelaku usaha tengah menjajaki komunikasi intensif untuk menyusun usulan insentif yang lebih konkret.
“Kami memang ada permohonan untuk beberapa insentif fiskal, terutama untuk industri padat karya yang saat ini sangat tertekan,” ujar Shinta saat ditemui usai Peluncuran Taxpayers' Charter di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2025).
Dia menyinggung keberhasilan pemerintah dalam menyalurkan stimulus fiskal selama pandemi Covid-19 yang terbukti mampu menopang pelaku usaha di masa krisis. Menurutnya, pendekatan serupa perlu dipertimbangkan ulang seiring meningkatnya tekanan eksternal terhadap sejumlah sektor strategis.
Lebih lanjut, Shinta mengungkapkan bahwa Apindo masih menghitung dampak lanjutan dari kebijakan dagang Amerika Serikat (AS), khususnya usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor 19% ke produk asal Indonesia.
Pihaknya masih menunggu pengumuman tarif baru AS untuk negara-negara lain sebelum berlaku penuh pada 1 Agustus 2025. Dengan begitu, dampaknya ke industri Indonesia terutama terkait daya saing dengan negara lain bisa dipastikan.
“Ini semua hitung-hitungannya kan harus kita perhatikan, bagaimana itu berdampak kepada industrinya, dari situ baru kita minta lebih detail lagi mengenai insentif,” jelasnya