Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) buka suara usai Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 5,75%. Dunia usaha memandang, bank sentral bisa mulai menurunkan suku bunga acuan agar ekspansi di sektor riil lebih lincah.
Untuk diketahui, keputusan suku bunga ini konsisten dengan upaya menjaga agar perkiraan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%. Kebijakan suku bunga ini juga disebut untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan bahwa dunia usaha sejatinya berharap BI menurunkan suku bunga acuan ke level yang kompetitif.
“Tidak dipungkiri bahwa pelaku usaha menantikan adanya penurunan suku bunga lebih lanjut hingga ke level yang kompetitif dengan negara-negara tetangga,” kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (19/2/2025).
Terlebih, suku bunga BI turut menentukan tingkat pinjaman sebenarnya (real lending rate) di sisi pelaku usaha. Dia menjelaskan, semakin tinggi suku bunga acuan, maka akan sulit bagi sektor perbankan untuk memberikan pinjaman usaha dengan suku bunga yang lebih kompetitif.
Padahal, Shinta mengungkap, saat ini tingkat pinjaman (lending rate) dan pembiayaan (financing cost) Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan. Hal ini berimbas pada pelaku usaha nasional yang sulit bersaing dan tidak agresif dalam melakukan ekspansi usaha.
Baca Juga
Bahkan, dia menyebut tingginya tingkat pinjaman di Tanah Air juga berdampak pada ekspansi kinerja ekspor yang turut mempengaruhi level kecukupan cadangan devisa nasional.
“Kami meyakini bahwa pada saat ini Indonesia lebih membutuhkan level suku bunga yang lebih rendah untuk membantu mendongkrak kinerja pertumbuhan ekonomi sektor riil nasional,” ujarnya.
Menurut Shinta, dengan suku bunga yang lebih rendah, maka sektor perbankan dapat memberikan pinjaman dengan suku bunga yang yang lebih kompetitif dan memberikan akses pembiayaan yang lebih luas, termasuk untuk UMKM. Sehingga, bisa menggenjot ekspor dan investasi Indonesia.
Jika ekspor dan investasi sektor riil meningkat, Shinta menilai kecukupan fiskal akan positif, mulai dari cadangan devisa yang meningkat hingga ruang fiskal dan ruang kebijakan pemerintah untuk mengintervensi stabilitas nilai tukar juga akan lebih besar.
“Kami berharap pemerintah bisa mengupayakan penurunan suku bunga pinjaman usaha secepat mungkin, meskipun harus tetap mengutamakan prudential makro atau tidak menciptakan beban yang terlalu besar terhadap macro stability nasional,” ujarnya.
Kendati begitu, Shinta menegaskan bahwa pelaku usaha senantiasa menghormati kebijakan bank sentral yang saat ini menahan di level 5,75%.
“Kami meyakini BI memiliki pertimbangan yang solid dan prudent dalam menentukan suku bunga sesuai dengan konteks ekonomi nasional dan internasional yang ada,” tuturnya.
Di sisi lain, jika The Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga, dunia usaha menilai Indonesia akan menadah untung lantaran memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk menurunkan suku bunga.
Selama ini, kata Shinta, bank sentral mempertahankan suku bunga acuan yang relatif tinggi karena suku bunga The Fed yang saat ini masih tergolong sangat tinggi.
“Bila Indonesia tidak memaksakan diri untuk menetapkan suku bunga acuan di atas suku bunga The Fed, sulit bagi Indonesia untuk memperoleh pendanaan asing untuk membiayai defisit fiskal atau APBN setiap tahunnya,” tuturnya.
Oleh karenanya, kalangan dunia usaha berharap suku bunga The Fed bisa turun agar BI lebih leluasa menciptakan suku bunga acuan yang lebih kompetitif dan lebih ringan untuk beban pembiayaan fiskal negara.
Ke depan, Apindo berharap BI dan pemerintah dapat bekerja sama dan sejalan dalam menciptakan iklim kebijakan moneter yang lebih kondusif dan fasilitatif bagi pertumbuhan kegiatan usaha di Indonesia.
Meski begitu, Shinta menyampaikan bahwa dunia usaha juga memahami kadang kala suku bunga acuan dipergunakan sebagai instrumen untuk turut menjaga stabilitas nilai tukar.
Namun, menurut dia, stabilitas nilai tukar sebaiknya diciptakan dengan intervensi kebijakan yang lebih beragam, khususnya di sisi stimulasi peningkatan penerimaan ekspor dan penanaman modal asing (Foreign Direct Investment/FDI).
Lebih lanjut, Shinta menambahkan, jika nilai tukar hanya dijaga oleh instrumen suku bunga, pemerintah hanya akan menciptakan stagnasi pertumbuhan hingga penurunan potensi pertumbuhan. Sebab ada beragam hal yang menyebabkan stagnasi atau penurunan di sisi penerimaan cadangan devisa nasional, khususnya penerimaan ekspor & FDI.