Bisnis.com, JAKARTA - Pembahasan RUU Perubahan Ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 4 Februari 2025.
UU ini mengatur 11 DIM utama, termasuk di dalamnya perluasan definisi BUMN, pembentukan BPI Danantara, mekanisme restrukturisasi dan privatisasi, serta penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam pengelolaan aset BUMN.
Dengan pengesahan ini, aspek kelembagaan BPI Danantara makin kuat secara legal, dari yang sebelumnya disebutkan akan diatur melalui Peraturan Presiden menjadi Undang-Undang. Fokus utama kini bergeser ke model bisnis yang akan dijalankan untuk mencapai tujuan utama sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi, mengoptimalkan kekayaan negara, dan meningkatkan daya saing global.
Berdasarkan DIM 131 RUU BUMN, modal dasar Danantara ditetapkan minimal Rp1.000 triliun, yang dapat berasal dari PMN atau sumber lainnya, termasuk BMN dan saham BUMN.
Pada tahap awal, Danantara BPI Danantara akan mengonsolidasikan aset Indonesia Investment Authority (INA) dan tujuh aset BUMN dalam pengelolaannya yang terdiri dari Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Bank Negara Indonesia (BNI), Telkom Indonesia dan MIND ID di mana total aset dari ketujuh BUMN ini sesuai laporan keuangan audited 2023 adalah Rp8.791 triliun, sementara INA dengan ekuitas Rp113,7 triliun memiliki Asset Under Management (AUM) bersama co-investor sebesar Rp147,6 triliun, sehingga total aset kelolaan Danantara akan mencapai Rp8.938 triliun pada saat pendirian atau sekitar US$604 Miliar.
Berdasarkan karakteristik modal dan aset, ada dua model bisnis utama yang dapat dijalankan sesuai best practice. Pertama, Asset Manager, fokus pada value creation di tujuh BUMN dan INA untuk meningkatkan nilai keuangan (market capitalization dan enterprise value) yang berujung pada peningkatan dividen negara.
Baca Juga
Kedua, Investment Manager, berorientasi pada optimalisasi financial return dari dana investasi yang bersumber dari dividen BUMN dan INA.
Sebagai superholding BUMN dan Sovereign Wealth Fund (SWF), fokus utama Danantara harus pada peran investment manager agar dividen portofolio perusahaan dapat dimonetisasi untuk mendukung kesejahteraan nasional dan daya saing global.
PELAJARAN TEMASEK
Temasek telah berkembang dari 35 BUMN senilai US$265,5 juta pada 1974 menjadi portofolio global US$291,8 miliar pada 2024, dengan peningkatan nilai ekonomi portofolio 1.099 kali lipat dalam 50 tahun atau rata-rata hampir 22 kali lipat setiap tahunnya.
Jika dilihat dari sisi long-term investment horizon sejak pendiriannya pada 1974, maka pengelolaan investasi yang dilakukan oleh Temasek telah memberikan return atau tingkat pengembalian investasi 14% dalam dolar Singapura (5x yield Singapore 20 years bond) sementara untuk horizon investasi yang lebih pendek 20 tahun dan 10 tahun maka return yang diperoleh adalah masing-masing 7% dan 6% dalam dolar Singapura (2x–2,4x yield Singapore 20 years bond).
Strategi awal Temasek adalah value creation sebagai asset manager, mengakumulasi dana dari dividen dan divestasi saham perusahaan portofolio seperti Petrochemical Corporation of Singapore, Singapore Airlines, dan DBS Bank. Mereka tetap mempertahankan controlling stakes pada aset strategis negara, seperti DBS Bank dan Singtel. Setelah memiliki cukup akumulasi dana untuk investasi yang terutama berasal dari dividen perusahaan portfolio, fokus Temasek bergeser menjadi investment manager dengan portofolio global.
Patut untuk dicatat bahwa keberhasilan Temasek didukung oleh pengelolaan berbasis prinsip komersial, tanpa campur tangan politik, dengan regulasi yang memungkinkan fleksibilitas dalam investasi global.
Meskipun Temasek bisa menjadi referensi, Danantara perlu menyesuaikan strategi berdasarkan kondisi objektif Indonesia. Fokus pengembangan investasi Danantara harus inward looking, mendanai proyek infrastruktur dasar seperti ketahanan pangan, penghiliran tambang, energi, kesehatan, dan pendidikan, dan bukan hanya sektor teknologi tinggi.
Horizon investasinya tetap medium-to-long term, dengan tujuan memperluas akses pendanaan sambil memastikan return investasi di atas cost of opportunity. Berbeda dengan Temasek, Danantara harus seimbang dalam menyusun portfolio pembiayaannya antara sektor teknologi tinggi dan sektor sektor yang penting peranannya dalam mendukung peningkatan kesejahteraan nasional sesuai dengan misi strategis pembentukannya.
Model bisnis Danantara dapat mengikuti pola Temasek sebagai best practice, yang dimulai sebagai asset manager, lalu berkembang menjadi investment manager, di mana INA selama ini telah menerapkan pendekatan ini untuk menarik investor global melalui skema joint investment dengan investment fund atau entitas khusus. Dengan komitmen modal 13 kali lebih besar dari INA (Rp 1.000 triliun vs Rp 75 triliun), volume investasi Danantara semestinya meningkat drastis dibandiangkan INA, baik dari nilai aset kelolaan maupun investment return.
Sebagai key success factor maka Danantara perlu mengatasi tantangan utama, termasuk diantaranya kompleksitas regulasi, dinamika pasar, manajemen risiko, dan tata kelola aset BUMN. Keberhasilannya sangat bergantung pada pengelolaan berbasis prinsip komersial, governance yang kuat, dan strategi investasi yang fleksibel tetapi tetap mendukung perekonomian nasional. Jika dikelola dengan baik, Danantara berpotensi menjadi pilar ekonomi yang kuat dan kompetitif secara global.