Bisnis.com, JAKARTA — Wajah Harti terlihat cerah ketika melayani pembeli di sentra pakaian Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dengan sigap, Harti mondar-mandir dari etalase barang ke pengunjung kiosnya yang datang silih berganti. Pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara itu sudah ramai oleh pengunjung seiring dengan akan datangnya Ramadan.
Harti yang sudah sekitar 10 tahun malang melintang di pusat grosir Tanah Abang mengaku penjualannya naik drastis jelang ramadan tahun ini. Dia mengatakan omzet harian barang dagangannya naik lebih dari 50% dibandingkan dengan periode yang sama dalam beberapa tahun terakhir.
“Alhamdulillah, penjualan meningkat lebih dari separuh dibanding tahun-tahun kemarin. Udah ngebayar-lah. Terutama, Sabtu-Minggu,” kata Harti saat ditemui di kiosnya belum lama ini.
Harti mengaku, omzet kios miliknya bisa mencapai Rp5 Juta dalam satu hari. Menurut keterangannya, salah satu faktor yang menjadi pendongkrak volume penjualan adalah meningkatnya jumlah pembeli langsung alias offline.
Namun, keadaan di Pasar Tanah Abang ternyata tidak serta merta menggambarkan perbaikan kondisi di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Tanah Air. Sebab, barang-barang impor masih banyak beredar di lokasi tersebut dengan harga sangat murah. Yakni, di kisaran Rp35.000 - Rp150.000.
Sebenarnya, harga produk tekstil buatan Indonesia bisa dikatakan cukup kompetitif. Ambil contoh, produk garmen lokal yang dijual di Mal Sarinah, Jakarta Pusat. Di pusat perbelanjaan tertua di Indonesia itu, celana buatan lokal dijual di kisaran Rp150.000. Produk berbeda seperti topi dan lain-lain juga dibanderol dengan harga yang relatif terjangkau.
Baca Juga
Namun demikian, angka pengunjung pusat grosir Tanah Abang jauh lebih banyak. Begitu pula jumlah kios yang menjajakan produk-produk garmen impor di sana. Pelaku industri TPT dalam negeri pun memandang kondisi ini sebagai warning bagi produk lokal.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, peningkatan volume penjualan garmen di pasar sentra sepertihalnya pusat grosir Tanah Abang berpotensi mengakibatkan penurunan produktivitas industri TPT dalam negeri.
“Kalau yang dijual barang impor, walaupun penjualan naik, produktivitas industri bisa menurun. Nanti yang jadi korban adalah industri TPT yang mempunyai sekian juta tenaga kerja. Kalau ditotal, jumlahnya hampir 2,7 juta orang,” kata Danang ketika dihubungi Bisnis.
Barang impor memang terus menjadi momok bagi pelaku industri TPT di Tanah Air. Di hilir, Danang menyebut masuknya barang jadi dari luar negeri yang dibanderol dengan harga miring berdampak terhadap daya saing produk lokal.
Dia menjelaskan, selain harga garmen impor yang sangat murah menjadi masalah besar bagi daya saing, pebisnis tekstil di Tanah Air berhadapan pula dengan konsekuensi lain, termasuk penurunan tingkat utilisasi industri.
Menurutnya, utilisasi industri hilir tekstil nasional saat ini berada di level 70%, jauh di bawah level ok, yakni 90%. Selain itu, sambungnya, terdapat 68 perusahaan yang terpaksa gulung tikar dari hulu, intermediate, hingga hilir dalam kurun 3 tahun terakhir.
Relokasi
Adapun, sejumlah pabrik pun melakukan relokasi ke wilayah Jawa Tengah. Danang menyebut alasan utama dari relokasi yang terjadi adalah upah yang jauh lebih rendah. Menurutnya, besaran upah di Jawa Tengah 60% lebih rendah dibandingkan dengan Jawa Barat.
“Bagaimana pun juga, industri padat karya sangat terpengaruh oleh besaran upah. Kalau upahnya sangat tinggi, industri padat karya enggak bisa bertahan. Ini yang harus dipikirkan lebih jauh. Cara mencegah industri padat karya di Jawa Barat kolaps,” ujarnya.
Dia menyebut sebanyak 26 perusahaan garmen terpaksa tutup di Jawa Barat. Namun, asosiasi tidak mengetahui angka pasti pabrik-pabrik di Jawa Barat yang melakukan relokasi usaha ke wilayah Jawa Tengah.
Dia menambahkan, kondisi perusahaan garmen di Jawa Tengah pun tidak bisa dikatakan lebih baik. Kendati memiliki besaran upah lebih rendah, API mencatat dari 27 perusahaan tekstil kategori besar di Jawa Tengah, 17 di antaranya tutup dalam beberapa waktu belakangan.
“Masalahnya utama yang kami identifikasi salah satunya adalah banjir impor. Kalau importasi ini tidak berhasil dikendalikan oleh pemerintah, ya selesai lah,” kata dia.
Selain itu, dia mencatat hal-hal seperti biaya kelistrikan, harga gas, hingga relatif tingginya ongkos logistik sebagai masalah yang masih menghantui industri. Pemerintah pun diminta untuk turun dan melihat secara detil situasi di lapangan.
Tidak hanya itu, pemerintah diharapkan pula melakukan perbaikan regulasi. Mulai dari aturan amdal, insentif untuk gas dan listrik, hingga beleid pengupahan tenaga kerja sektor padat karya. Dari sisi penegakan hukum, Danang mendorong pemerintah untuk lebih tegas menangkal barang impor.
“Perbaikan regulasi dan penegakan hukum yang tegas untuk barang impor. Hanya 2 hal itu yang kami harapkan dari pemerintah,” tuturnya.