Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah hotel di Tanah Air tak lagi mempekerjakan pekerja harian lepas atau daily worker seiring menurunnya jumlah tamu dari instansi pemerintah, imbas kebijakan efisiensi anggaran 2025 yang diterapkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani menyampaikan, kebijakan itu memberikan efek negatif terhadap industri perhotelan, termasuk dari sisi penyerapan tenaga kerja.
“Posisi karyawan, terutama yang daily worker itu boleh dibilang udah habis karena enggak ada tamunya dari sisi pemerintah,” kata Hariyadi dalam konferensi pers, dikutip Minggu (23/3/2025).
Hariyadi menuturkan, industri perhotelan kerap merekrut daily worker sebagai tenaga tambahan ketika hotel tengah mengalami lonjakan pengunjung, termasuk saat ada kegiatan pemerintahan di hotel-hotel.
Namun, hal tersebut tak lagi dilakukan seiring menurunnya jumlah tamu dari instansi pemerintah bahkan nihil alias 0.
Kondisi ini lantas membuat pengusaha perhotelan kebingungan. Merujuk Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025, Presiden Prabowo memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun.
Baca Juga
Secara spesifik, Kepala Negara meminta kementerian/lembaga menghemat belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.
Sementara kepada kepala daerah, Prabowo meminta untuk membatasi kegiatan yang bersifat seremonial, bahkan meminta perjalanan dinas dipotong hingga 50%.
Sayangnya, Hariyadi menyebut pemerintah hingga saat ini, tidak merealisasikan sisa pemangkasan anggaran atau 50% dari anggaran perjalanan dinas.
Alih-alih menggunakan 50% sisa anggaran perjalanan dinas, pemerintah justru menahan belanja perjalanan dinas dengan tidak menggelar kegiatan di hotel-hotel.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Hariyadi memperkirakan tidak hanya daily worker yang terdampak tetapi juga pekerja kontrak seperti di bagian food & beverage (F&B) dan resepsionis.
Perkiraan tersebut sejalan dengan survei yang dilakukan oleh PHRI dan Horwath HTL dengan melibatkan 726 pelaku industri perhotelan di 30 provinsi terkait dampak yang akan terjadi jika pemerintah tak segera menyesuaikan kebijakan tersebut dalam 6-12 bulan mendatang.
Hasilnya, 88% responden memperkirakan akan membuat keputusan sulit dengan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK para pekerja demi mengurangi biaya pengupahan. Lalu, 58% mengantisipasi potensi gagal bayar pinjaman kepada bank dan 48% memproyeksikan adanya penutupan hotel karena defisit operasional.
“Pokoknya kalau ini enggak jalan ya udah otomatis mereka menempuh 88%, kan mereka menjawab pasti mereka akan melakukan pengurangan yang lebih signifikan lagi,” tutur Hariyadi.
Meski belum bisa memastikan berapa banyak potensi pekerja yang bakal dirumahkan imbas kebijakan ini, dia memperkirakan pelaku usaha mungkin akan terus melanjutkan pengurangan karyawan jika pemerintah tak kunjung merealisasikan sisa 50% anggaran perjalanan dinas.
Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah agar segera merealisasikan sisa 50% anggaran perjalanan dinas, guna mengantisipasi pengurangan karyawan lebih lanjut.