Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association/IMA) berharap pemerintah tak memberlakukan penyesuaian tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) pada April 2025.
Adapun, penyesuaian tarif royalti minerba akan menyasar batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah. Besaran kenaikannya diperkirakan berada dalam kisaran 1% hingga 3% dan akan bersifat fluktuatif, menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan, pihaknya berharap pemerintah mau diajak berunding ulang terkait pengenaan tarif royalti baru. Terlebih, saat ini dunia tengah menghadapi potensi perang dagang imbas kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
"Sebagai mitra pemerintah, tentu anggota IMA akan mematuhi. Namun, kami mengharapkan bisa dibahas lagi mengingat situasi perang dagang," tutur Hendra kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).
Hendra pun mengaku sampai saat ini pihaknya belum menerima draf final dari penyesuaian tarif royalti minerba. Menurutnya, dalam kondisi perang dagang industri minerba seharusnya mendapat dukungan pemerintah alih-alih terbebani tarif royalti.
Pasalnya, industri minerba tak terdampak langsung oleh kebijakan tarif ala Presiden AS Donald Trump. Kondisi tersebut, kata Hendra, harusnya dapat menjadi peluang yang dimanfaatkan Indonesia untuk menggenjot perekonomian nasional.
Baca Juga
"Dalam kondisi perang tarif justru industri minerba kita tidak terdampak langsung sehingga berpotensi menopang perekonomian kita, pelaku usaha perlu didukung, termasuk tidak dibebani kenaikan royalti," ucap Hendra.
Setali tiga uang, Dewan Penasehat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan, para pengusaha di sektor pertambangan menyatakan keberatan terhadap rencana penyesuaian tarif royalti.
Menurutnya, pengusaha khawatir bahwa kenaikan tarif royalti ini akan memberikan dampak negatif pada iklim investasi dan daya saing industri pertambangan. Apalagi, pengusaha tambang saat ini sudah menghadapi berbagai kenaikan biaya operasional, seperti kenaikan harga biosolar dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang meningkat menjadi 12%.
Selain itu, kewajiban retensi hasil ekspor sebesar 100% selama 12 bulan juga menambah beban perusahaan. Dia pun menekankan bahwa banyak perusahaan sedang berinvestasi besar dalam pembangunan smelter sebagai bagian dari program hilirisasi.
Oleh karena itu, penambahan beban seperti kenaikan royalti dapat mengganggu arus kas para pengusaha.
"Para pengusaha berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana ini dengan melibatkan dialog yang lebih mendalam bersama pelaku industri untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak merugikan sektor pertambangan nasional," kata Djoko.
Penyesuaian tarif royalti minerba ditargetkan berlaku pada pekan kedua April 2025 ini. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada Rabu (9/4/2025).
Dia mengatakan, revisi peraturan pemerintah (PP) terkait tarif royalti minerba telah rampung. Adapun, revisi PP yang dimaksud adalah PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lalu, PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
"Bulan ini sudah berlaku efektif. Minggunya, mungkin pinggu kedua sudah berlaku efektif dan sudah tersosialisasikan," kata Bahlil
Bahlil menyebut, kenaikan tarif royalti minerba dapat meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, dia mengaku belum menghitung secara detail berapa potensi peningkatan PNBP sektor minerba usai kenaikan tarif royalti.
Menurut Bahlil, kenaikan harga komoditas akan menguntungkan pengusaha. Oleh karena itu, dia ingin mengambil jalan tengah. Dengan kata lain, saat perusahaan untung, maka negara juga harus mendapat pemasukan lebih.
"Kalau harga naik, otomatis perusahaan dapat untung dong, masa kemudian kamu dapat untung, negara tidak dapat bagian? Kita mau win-win, kita ingin pengusaha baik, negara juga baik," jelas Bahlil.
Sementara itu, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno memastikan kenaikan tarif royalti tidak akan memberatkan para pengusaha. Dia mengeklaim telah melakukan kajian sebelum memutuskan menaikkan royalti minerba.
Tri bahkan mengaku telah mempelajari laporan keuangan dari setiap perusahaan. Dari hasil penelaahan laporan keuangan itu, Tri meyakini perusahaan tambang masih mampu jika tarif royalti naik.
"Kami sudah melakukan perhitungan. Perhitungan itu berdasarkan pada laporan keuangan dua tahun berturut-turut dari beberapa perusahaan. Kemudian kita evaluasi. Pada saat evaluasi itu dilakukan itu tidak menunjukkan adanya potensi perusahaan itu akan mengalami collaps atau negatif cash flow-nya," ucapnya.