Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Ritel Buka Suara soal Rencana Prabowo Hapus Kuota Impor

Pengusaha ritel mendukung rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghapus kuota impor. Berikut alasannya.
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha ritel menyebut pemerintah harus memberikan karpet merah, terutama kepada industri padat karya agar bisa mengimpor barang jadi maupun bahan baku. Pasalnya, selama ini peritel mengalami kesulitan dalam mengimpor barang yang belum diproduksi di dalam negeri.

Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah meminta agar pemerintah memberikan kemudahan dalam hal kebijakan impor baik barang jadi maupun bahan baku industri terhadap industri padat karya.

Pasalnya, industri padat karya menyerap tenaga kerja. Selain itu, dia juga meminta pemerintah tidak membatasi kuota impor.

“Harus diberikan karpet merah [kepada peritel padat karya yang membutuhkan barang impor jadi maupun bahan baku]. Maksudnya, untuk langsung bisa mengimpor tanpa dipertanyakan kuota, berapa banyak boleh impor,” kata Budihardjo kepada Bisnis, dikutip pada Senin (14/4/2025).

Menurutnya, dengan adanya karpet merah kepada peritel di industri padat karya membuat stok barang di dalam negeri dapat terjaga. Begitu pula dengan produk yang lebih bervariasi.

“Impor sebanyak-banyaknya pun tidak apa, karena membayar pajak dan resmi sehingga stok terjaga, ragam jenisnya juga banyak,” imbuhnya.

Di samping itu, Budihardjo menyebut pembukaan toko dalam jumlah besar bisa dilakukan tanpa kendala lantaran melimpahnya stok barang.

Bahkan, dia menilai kebijakan ini bisa menekan peredaran barang impor ilegal yang dijual di platform online dikarenakan pasar offline yang kesulitan mendapatkan barang imbas adanya kuota.

Di sisi lain, Budihardjo menilai kebijakan tarif timbal balik alias tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi sistem perdagangan guna mendukung dunia usaha.

“Ini [tarif Trump] adalah satu momentum untuk melakukan koreksi terhadap peraturan-peraturan perdagangan yang menurut kami juga dari asosiasi ritel Hippindo, banyak sekali menyulitkan pengusaha ritel untuk mengimpor barang yang belum diproduksi di Indonesia, banyaknya tarif barrier, banyaknya kuota, banyaknya safeguard,” ujarnya.

Menurutnya, sejumlah peraturan tersebut membuat bisnis untuk sektor ritel dan perdagangan menjadi sangat sulit. Untuk itu, dia berharap, pemerintah dapat membuat peraturan yang memudahkan berbisnis di Indonesia dan secara global.

“Kami menyambut baik upaya merapikan daripada tarif-tarif ini dengan adanya Trump ini menjadi momentum untuk membuat suatu keseimbangan baru yang memudahkan berbisnis di Indonesia dan di seluruh dunia,” ucapnya.

Seperti diketahui, Presiden Trump menunda skema tarif timbal balik atau tarif resiprokal selama 90 hari, kecuali untuk China.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai pemerintah Indonesia harus memanfaatkan momentum penundaan tarif ini untuk menyesuaikan kembali skema negosiasi.

“Penundaan [tarif tinggi] ini bisa dibaca sebagai jendela waktu untuk memperkuat posisi tawar, terutama dalam kerangka kerja sama perdagangan dan investasi yang lebih seimbang dengan AS,” ujar Andry kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).

Menurut dia, pemerintah harus bisa memanfaatkan situasi ini untuk mempercepat penyelesaian perjanjian perdagangan (trade agreement) yang sempat tertunda, termasuk memperbesar impor dari AS.

Selain itu, lanjut Andry, pemerintah juga harus mendorong relaksasi hambatan non-tarif untuk produk ekspor unggulan Indonesia. Di sisi lain, pemerintah harus tetap memperkuat diversifikasi pasar.

“Indonesia juga harus tetap memperkuat diversifikasi pasar ekspor dan investasi, mengingat ketidakpastian global masih sangat tinggi,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper