Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Kusfiardi

Analis Ekonomi Politik FINE Institute

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Mimpi Besar Reformasi Pajak

Data terbaru menunjukkan penerimaan pajak pada awal 2025 turun hingga 30,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Warga melakukan pembayaran PBB di kantor layanan Kota Semarang. Pemerintah Kota Semarang memberikan diskon PBB sebesar 10% untuk periode Maret hingga Mei 2025.
Warga melakukan pembayaran PBB di kantor layanan Kota Semarang. Pemerintah Kota Semarang memberikan diskon PBB sebesar 10% untuk periode Maret hingga Mei 2025.

Bisnis.com, JAKARTA - Reformasi per­­­pajakan di In­­­­­­­­do­­­nesia di­­­­ga­­­dang-ga­­­dang sebagai langkah stra­­­­tegis untuk mening­kat­­­­­­­kan penerimaan ne­­­ga­­­­­­ra, memperbaiki ke­­­pa­­­tuh­­­­­an wajib pajak, dan menciptakan sistem yang lebih adil serta transparan.

Namun, hingga kini, ha­­­rapan tersebut belum se­­­­pe­­nuhnya terwujud. Ber­­­ba­­­gai hambatan, mulai dari ketergantungan pada sek­­tor tertentu, kegagalan im­­­ple­­­mentasi sistem digital, hingga ma­­­salah kelembagaan, mem­­­buat reformasi pajak berjalan jauh lebih lambat dari yang diharapkan.

Data terbaru menunjukkan bahwa penerimaan pajak pada awal 2025 turun hingga 30,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini menjadi alarm serius bagi pemerintah, terutama karena pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Jika reformasi pajak tidak segera dibenahi, Indonesia akan terus menghadapi kesulitan dalam menjaga stabilitas fiskal.

Salah satu penyebab utama penurunan penerimaan pajak adalah ketergantungan terhadap sektor komoditas unggulan seperti batu bara dan minyak sawit. Kedua sektor ini menyumbang porsi besar dalam penerimaan pajak, se­­­hingga ketika harga komoditas turun, dampaknya langsung terasa pada pendapatan negara.

Ketergantungan semacam ini membuat sistem perpajakan Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi global. Negara yang sistem perpajakannya lebih maju umumnya memiliki basis pajak yang lebih luas dan beragam, sehingga tidak terlalu bergantung pada satu atau dua sektor saja. Indonesia perlu mengefektifkan penerimaan dari basis pajak yang ada dan sekaligus dengan menggali potensi penerimaan dari sektor lain.

Sebagai bagian dari reformasi pajak, pemerintah telah meluncurkan Core Tax System untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi perpajakan. Sayangnya, implementasinya jauh dari kata sempurna. Banyak wajib pajak mengalami kendala teknis saat mengakses sistem ini.

Masalah ketidaksesuaian data antara sistem lama dan baru menyebabkan gangguan besar, membuat pelaporan pajak menjadi sulit dan memunculkan ketidakpastian bagi pelaku usaha. Gangguan teknis lainnya juga memperlambat penerbitan dokumen pajak, hingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk kembali menggunakan sistem lama sementara perbaikan dilakukan.

Kegagalan ini menunjukkan bahwa reformasi berbasis teknologi memerlukan persiapan yang lebih matang. Uji coba harus dilakukan secara menyeluruh sebelum sistem baru diberlakukan secara penuh. Tanpa kesiapan infrastruktur yang baik, digitalisasi justru dapat menjadi penghambat alih-alih solusi.

Jika dibandingkan dengan negara lain, reformasi pajak di Indonesia masih jauh tertinggal. Sejumlah negara telah berhasil melakukan reformasi pajak yang efektif, seperti Australia, India, Korea Selatan, dan Kenya.

Australia sukses menerapkan Goods and Services Tax (GST) pada tahun 2000, yang menyederhanakan sistem pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kenya berhasil dengan iTax, sistem digital yang memungkinkan pelaporan pajak secara online, meningkatkan transparansi dan mempermudah wajib pajak.

India juga memberikan contoh menarik. Pada 2017, mereka menggantikan berbagai pajak regional dengan satu mekanisme GST yang lebih sederhana, yang mengurangi kompleksitas administrasi dan meningkatkan kepatuhan bisnis. Sementara itu, Korea Selatan berhasil dengan e-Tax, sistem elektronik yang mendokumentasikan transaksi pajak secara otomatis.

Negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia bahkan telah membangun sistem perpajakan yang efisien dengan tingkat kepatuhan tinggi. Kunci keberhasilan mereka terletak pada transparansi kebijakan, sistem digital yang kuat, serta kelembagaan yang independen dan profesional.

Selain sistem pajak itu sendiri, kelembagaan yang mengelola pajak juga berperan penting dalam keberhasilan reformasi. Negara dengan sistem perpajakan yang lebih efisien umumnya memiliki lembaga pajak yang lebih otonom.

Di Australia, Australian Taxation Office (ATO) tetap berada di bawah Kementerian Keuangan, tetapi memiliki kendali penuh atas administrasi dan anggarannya sendiri.

Korea Selatan juga menerapkan model serupa melalui National Tax Service (NTS), yang memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia dan kebijakan pajak.

Sebaliknya, di India, Central Board of Direct Taxes (CBDT) masih berada dalam struktur birokrasi Kementerian Keuangan, sehingga kurang fleksibel dalam merespons dinamika perpajakan.

Kenya menerapkan model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), yang memberikan otonomi lebih besar kepada otoritas pajaknya.

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih memiliki keterbatasan kewenangan dalam mengelola kebijakan perpajakan. Tanpa otonomi yang lebih besar, DJP sulit untuk menjalankan reformasi yang lebih cepat dan fleksibel. Jika ingin mencapai keberhasilan seperti Australia dan Korea Selatan, pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian otonomi yang lebih luas bagi DJP.

Langkah Konkret

Agar mimpi besar reformasi pajak dapat terwujud, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan.

Pertama, memperluas basis pajak agar tidak terlalu bergantung pada sektor tertentu. Sektor penerimaan pajak yang ada harus dioptimalkan. Potensi penerimaan yang masih belum terjangkau kebijakan perpajakan harus mulai dimasukkan ke dalam sistem dengan cara yang lebih adil dan terstruktur.

Kedua, memperbaiki digitalisasi perpajakan dengan evaluasi menyeluruh terhadap Core Tax System sebelum kembali diterapkan. Infrastruktur teknologi harus siap, data harus bersih dan terintegrasi, serta wajib pajak harus mendapatkan edukasi yang cukup agar dapat beradaptasi dengan sistem baru.

Ketiga, memberikan otonomi yang lebih besar kepada DJP agar lembaga ini dapat beroperasi dengan lebih fleksibel dan profesional. Otonomi ini akan memungkinkan DJP mengambil langkah-langkah strategis tanpa harus tersandung birokrasi yang berlebihan.

Keempat, menyederhanakan sistem pajak agar lebih mudah dipahami dan diterapkan. India telah membuktikan bahwa pajak yang lebih sederhana dapat meningkatkan kepatuhan. Pajak yang terlalu kompleks justru membuka celah bagi penghindaran pajak dan menambah beban administrasi bagi masyarakat.

Meskipun tantangan dalam reformasi pajak masih besar, harapan untuk perbaikan tetap ada. Reformasi ini harus dirancang dengan matang, didukung oleh data yang kuat, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk dunia usaha dan masyarakat.

Jika langkah-langkah ini dapat diterapkan dengan baik, Indonesia memiliki peluang untuk membangun sistem perpajakan yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan. Namun, tanpa perbaikan yang nyata, mimpi besar reformasi pajak akan tetap menjadi sekadar harapan yang sulit terwujud.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Kusfiardi
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper