Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mewanti-wanti risiko cadangan mineral susut imbas tekanan margin usai kenaikan tarif royalti berlaku, sebagaimana tertuang dalam aturan terbaru.
Beleid yang dimaksud yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM. Tarif baru ini akan berlaku pada 26 April 2025.
Sekjen APNI Meidy Katrin mengatakan, kenaikan tarif royalti akan menekan margin produksi sehingga memaksa penambang meningkatkan cut off grade. Alhasil, volume cadangan berpotensi menyusut signifikan.
“Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang sehingga secara long-term penerimaan negara justru akan berkurang,” ujar Meidy dalam keterangan resminya, Rabu (16/4/2025).
Merujuk pada laporan Kementerian ESDM, status pada 2023, sumber daya nikel Indonesia berupa bijih sebesar 18,55 miliar ton dengan total cadangan 5,32 miliar ton bijih.
Bahkan, data Badan Geologi Amerika menunjukkan cadangan nikel Indonesia pada 2022-2023 tercatat sebesar 25% dari total cadangan dunia. Sementara itu, periode Maret-April 2024 naik signifikan dengan cadangan nikel Indonesia mencapai 42% dari total cadangan global.
Baca Juga
Di sisi lain, Meidy juga menyoroti industri minerba yang selama ini merupakan salah satu tulang punggung penerimaan negara. Pada tahun lalu, sektor minerba menyumbang Rp140,5 triliun atau 52,1% dari total penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor ESDM sebesar Rp269,6 triliun.
“Dalam situasi global yang menantang, industri ini seharusnya diperkuat dan didukung, bukan justru dibebani,” terangnya.
Lebih lanjut, dia juga mengingatkan dampak dari kenaikan tarif royalti minerba terhadap investasi dan daya saing. Meidy menilai kenaikan royalti berpotensi mengurangi minat investasi di sektor hulu-hilir nikel.
“Menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global dan memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” ujarnya.
Terlebih, saat ini industri pertambangan menanggung 13 beban kewajiban yang signifikan, termasuk biaya operasional tinggi, pajak dan iuran (PPN 12%, PBB, PNBP PPKH, iuran tetap tahunan), serta kewajiban non-fiskal seperti reklamasi pasca tambang dan rehabilitasi DAS.
Dalam hal ini, dia memahami bahwa kebijakan tersebut telah resmi diundangkan. Namun, pihaknya berharap pemerintah masih membuka ruang dialog untuk mengevaluasi ulang kebijakan ini secara menyeluruh, termasuk potensi penundaan implementasi atau penerapan secara bertahap guna memitigasi dampak negatif terhadap keberlangsungan industri.