Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pebisnis melihat Jakarta masih menjadi primadona bagi masyarakat dalam mencari pekerjaan. Berkurangnya jumlah perantau dinilai tidak serta merta menyimpulkan adanya masalah penciptaan lapangan kerja di daerah tersebut.
Sekadar informasi, data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Jakarta merekam jumlah pendatang usai Lebaran pada 2022 lalu sebanyak 27.478 orang, kemudian turun menjadi 25.918 pada warsa selanjutnya, dan 2024 hanya sebanyak 16.207 orang.
Pada momentum Lebaran tahun ini pun, jumlah pendatang diestimasi menyusut menjadi 10.000—15.000 orang, terendah dalam lima warsa terakhir.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, situasi ini justru menegaskan progres perkembangan Jakarta menjadi daerah dengan kekhususan ekonomi tertentu. Yakni, ekonomi berbasis konektivitas nasional dan internasional, serta inovasi.
“Jadi, aktivitas ekonomi yang lebih berkembang di Jakarta saat ini adalah industri-industri jasa, bukan manufaktur atau sektor lainnya,” kata Shinta kepada Bisnis baru-baru ini.
Dia menambahkan, kontribusi sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, konstruksi, akomodasi, dan lain-lain kian mendominasi dalam struktur PDRB Jakarta, serta lebih tinggi dibandingkan dengan nonjasa dalam kurun 10—15 tahun terakhir.
Baca Juga
Dengan demikian, sambungnya, penciptaan lapangan kerja dan kebutuhan terhadap sumber daya manusia (SDM) menjadi lebih spesifik, mengerucut kepada tenaga kerja terampil. Mengingat kebutuhan SDM terampil di sektor jasa dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan nonjasa.
“Dengan sendirinya terjadi ‘seleksi alam’, di mana hanya pekerja-pekerja dengan kualitas tertentu saja yang bisa diserap di Jakarta,” jelas Shinta.
Parameter lain yang mengindikasikan absennya isu ketenagakerjaan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran di Jakarta dibandingkan dengan tren nasional.
Selisih pertumbuhan ekonomi mantan ibukota negara itu dengan PDB nasional disebut tidak terlalu signifikan, yaitu di kisaran 0,5%. Begitu pula dengan perubahan tingkat pengangguran yang masih stabil di bawah 1% di tiap periode.
“Bahkan, dalam statistik ketenagakerjaan tahun lalu jumlah penduduk bekerja di Jakarta masih naik, meskipun kenaikannya terjadi di kategori pekerja paruh waktu dan setengah pengangguran yang mengindikasikan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja lebih banyak di sektor informal daripada formal,” jelasnya.
Pelaku Usaha Tidak Buru-Buru Ekspansi Bisnis
Kendati demikian, Shinta mengaku pelaku usaha sedang sangat wait and see alias tidak terburu-buru dalam melakukan ekspansi bisnis. Bahkan, melakukan efisiensi usaha dan membatasi penyerapan tenaga kerja. Tidak hanya di Jakarta, fenomena ini disebut terjadi dalam skala nasional.
Langkah-langkah tersebut di atas dilakukan guna mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global dan profil risiko pada outlook pertumbuhan ekonomi nasional.
“Namun, kami melihat retensi tenaga kerja masih cukup baik secara nasional. Jadi, risiko PHK relatif tidak terlalu besar, kecuali pada industri-industri yang memang sudah lama mengalami tekanan kinerja usaha seperti industri padat karya,” ungkapnya.
Untuk memperbaiki situasi, pemerintah pun dinilai harus melakukan perubahan kebijakan ekonomi secara nasional. Khususnya, reformasi iklim usaha dan investasi, serta stimulasi ekonomi nasional yang efektif menghasilkan sejumlah output.
Di antaranya, peningkatan kepastian dan prediktabilitas iklim usaha/investasi nasional; peningkatan efisiensi beban-beban usaha di sektor riil, khususnya sektor padat karya dan berorientasi ekspor.
Kemudian, peningkatan efisiensi, akuntabilitas dan profesionalisme tata kelola iklim usaha/investasi; serta yang terpenting saat ini, peningkatan resiliensi makro ekonomi nasional, khususnya dari sisi stabilitas mata uang, neraca pembayaran, dan manajemen beban utang negara.
Di sisi lain, pelaku usaha tetap membuka lapangan pekerjaan meskipun dalam skala moderat dan lebih lambat. “Pekerja pun juga perlu realistis melihat bahwa kebutuhan tenaga kerja saat ini sudah berubah dan akan terus berubah ke arah skilled workers,” tegasnya.
Kawasan Urban Baru di Luar Jakarta
Ke depan, Shinta memperkirakan akan terbentuk kawasan urban baru secara alami, sejalan dengan berlangsungnya desentralisasi pusat ekonomi di dalam negeri. Seperti Surabaya, Semarang, Medan, Batam, Makassar, serta Pontianak, berkat booming kegiatan ekonomi di daerah sekitarnya.
Hal tersebut dimungkinkan oleh pengembangan infrastruktur ekonomi dasar yang memadai—khususnya akses konektivitas fisik dan digital—di berbagai daerah yang bahkan diramal bisa menjadi pusat ekonomi sekelas Jakarta dalam jangka menengah-panjang.
“Namun, pemda tentunya harus mempersiapkan semua infrastruktur fisik dan sosial yang dibutuhkan untuk menciptakan kawasan urban. Jangan menunggu sampai volume penduduknya membludak baru kemudian ditata. Nanti akan terjebak dengan kekacauan pengaturan sosial-ekonomi urban seperti di Jakarta,” kata dia.
Lebih jauh, Pemda dinilai harus sudah proaktif menata kawasan urban yang emerging di daerah masing-masing, serta mengantisipasi peningkatan urbanisasi yang terjadi.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi maupun sosial di daerah-daerah urban baru akan lebih akomodatif dan fasilitatif terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi daerah serta kesejahteraan masyarakat setempat. “Bukan menciptakan isu sosial atau ekonomi yang memicu konflik antara warga setempat dengan warga pendatang,” tuturnya.