Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mendorong agar pemerintah dan Bank Indonesia tetap menjaga kedaulatan QRIS dan GPN dengan memperjuangkan kedua sistem pembayaran tersebut di hadapan Amerika Serikat.
Piter menilai Indonesia tak harus menuruti semua permintaan AS dalam negosiasi tarif resiprokal yang sedang berlangsung.
“Saya kira kita juga perlu menjaga wibawa kita sebagai negara berdaulat. Kita tetap lanjutkan GPN dan QRIS,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (21/4/2025).
Menghadapi kebijakan tarif Trump, Piter memandang Indonesia perlu menggalang semangat penggunaan QRIS di kawasan regional maupun Asean+3.
Setidaknya saat ini, WNI yang berada di Thailand, Malaysia, hingga Singapura dapat berbelanja menggunakan QRIS, begitupun sebaliknya.
Bank sentral Indonesia ini juga tengah memperluas jangkauan QRIS antarnegara ke Jwilayah Asean lainnya serta Jepang, Korea Selatan, India, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Baca Juga
Bank Indonesia mencatat volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS tetap tumbuh tinggi sebesar 163,32% (year on year/YoY) pada Februari 2025 yang didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant.
Lebih lanjut, Piter memandang saat ini kebijakan Trump yang sesungguhnya sedang merundung (bully) banyak negara, termasuk Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu hati-hati dan bijak, serta menjaga Tanah Air.
“Negosiasi yang dalam bahasa Trump sebagai upaya kissing his as*, memohon, bertekuk lutut, akan dimanfaatkan oleh AS untuk semakin mem-bully kita. Termasuk mempermasalahkan hal-hal di luar permasalahan tarif, seperti Penerapan GPN dan QRIS,” lanjutnya.
Tulang Punggung Transaksi
Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mlihat bahwa QRIS telah menjadi tulang punggung transaksi digital di Indonesia, dengan lebih dari jutaan merchant dan ratusan juta pengguna aktif pada 2025.
Tujuan Bank Indonesia menerapkan standar ini adalah untuk menyederhanakan sistem pembayaran, menurunkan biaya transaksi, serta memperluas jangkauan layanan keuangan formal ke seluruh pelosok negeri.
Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inklusi keuangan menjadi tantangan utama, QRIS telah menjadi salah satu katalis penting dalam mendorong ekonomi digital yang inklusif.
QRIS memiliki tujuan yang jelas, yakni menyatukan fragmentasi sistem pembayaran digital, menekan biaya transaksi, dan memperluas akses keuangan bagi UMKM serta masyarakat pedesaan.
Namun, AS melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang menghambat integrasi dengan sistem global.
“Kritik dari AS adalah hal yang wajar dalam dinamika perdagangan global, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk mundur dari agenda nasional,” ujarnya, Senin (21/4/2025).
Pasalnya dalam negosiasi tarif, pemerintah AS mendorong penyesuaian sistem pembayaran atau payment yang ada di Indonesia. Dalam penilaian AS, QRIS dan GPN membatasi alat pembayaran yang berasal dari AS, yakni Visa dan Mastercard.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk sektor keuangan tersebut.
“Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (18/4/2025).
Meskipun demikian, dirinya belum menjelaskan secara detail hal apa yang akan dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghadapi tarif Trump.