Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengusulkan solusi dan melihat peluang yang dapat dimanfaatkan dari keresahan Amerika Serikat akan implementasi QRIS.
Bagi Amerika Serikat (AS)—selaku rumah bagi raksasa fintech seperti PayPal, Stripe, dan Visa—kebijakan Indonesia dianggap menghambat ekspansi bisnis mereka. Namun, Indonesia harus memprioritaskan kepentingan 277 juta warganya.
Protes AS mirip dengan reaksi mereka terhadap kebijakan data lokal (data localization) di Uni Eropa melalui GDPR.
“Jika Indonesia menyerah pada tekanan ini, bisa jadi ini menjadi preseden buruk di mana kebijakan publik ditentukan oleh lobi korporasi, bukan kepentingan rakyat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (21/4/2025).
Achmad menjelaskan bahwa liberalisasi sistem pembayaran tanpa penyaringan bisa mematikan startup fintech lokal yang belum siap bersaing dengan perusahaan multinasional.
Sebagai contoh di Afrika, dominasi M-Pesa (sejenis mobile banking) justru mempersempit ruang bagi pengembang lokal untuk menciptakan solusi yang lebih kontekstual, meski sukses meningkatkan inklusi keuangan.
Baca Juga
Selain itu, tuntutan AS agar Bank Indonesia (BI) "lebih transparan" dalam penyusunan kebijakan perlu dikritisi. Padahal, setiap negara berdaulat dan berhak merumuskan regulasi sesuai kebutuhan nasionalnya tanpa intervensi asing.
Untuk itu, hal pertama yang dapat dilakukan oleh BI dan pemerintah dalam negosiasai soal QRIS dengan AS, yakni pertama, BI dapat membuka ruang konsultasi terbatas dengan perusahaan asing tanpa mengorbankan prinsip kebijakan.
Misalnya, mengizinkan partisipasi asing dalam pengembangan teknologi QRIS dengan syarat transfer pengetahuan dan penggunaan server lokal.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjelaskan bahwa QRIS bukan hambatan, tetapi peluang kolaborasi.
Standar QRIS bisa dipromosikan sebagai model bagi negara berkembang lain, sehingga perusahaan AS yang ingin ekspansi ke Asia Tenggara harus beradaptasi dengannya.
Ketiga, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan "interoperabilitas bertahap".
Misalnya, memastikan QRIS kompatibel dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR (Singapura) atau PromptPay (Thailand) terlebih dahulu, sebelum melangkah ke integrasi global.
“Langkah ini akan mengurangi kekhawatiran AS sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah internasional,” tuturnya.
Adapun, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti enggan memberikan penjelasan terkait keluhan AS akan QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Dirinya hanya menekankan bahwa pada dasarnya, implementasi QRIS antarnegara tergantung kesiapan masing-masing negara. Destry pun tidak menutup peluang kerja sama Indonesia melalui QRIS dengan AS.
“Tapi intinya, QRIS ataupun fast payment lainnya kerja sama kita dengan negara lain itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi kita tidak membeda-bedakan kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak?” ujarnya saat ditemui di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Senin (21/4/2025).
Destry juga menegaskan bahwa sistem pembayaran asal AS, yakni Visa maupun Mastercard masih mendominasi pembayaran di Indonesia, meski Indonesia memiliki QRIS maupun GPN
“Sekarang pun kartu kredit yang selalu diributin, Visa, Mastercard, masih dominan, jadi itu nggak ada masalah sebenarnya,” tuturnya.