Menurut Andry, sebagai mitra pengembangan ekosistem baterai, Indonesia Battery Corporation (IBC) pun memiliki kepentingan untuk menjaga agar baterai yang dihasilkan oleh LG dan Grand Project untuk menghasilkan baterai nikel.
Tak hanya itu, dia melihat investor di hulu ekosistem baterai listrik masih ragu lantaran melihat pasar dan regulasi di Indonesia yang tidak mendukung elektrifikasi berbasis nikel.
"Kita fokus pada elektrifikasi tapi kita lupa bahwa yang kita dorong untuk ekosistem kendaraan listrik itu yang berbasis nikel bukan LFP [Lithium Ferro Phosphate], karena kita kuat di nikel, sedangkan pemain global saat ini sudah arahnya ke LFP karena dari segi price point mereka jauh lebih unggul," jelasnya.
Investasi Sektor Baterai
Kendati demikian, berdasarkan hitungan Tenggara Strategics, realisasi investasi di ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) hingga 2024 diproyeksikan memberikan nilai tambah bagi perekonomian sebesar Rp29,6 triliun, dengan peningkatan sebesar 0,2% terhadap PDB tahun 2020.
Peningkatan nilai tambah terbesar disumbang oleh sektor hilir sebesar Rp10,8 triliun. Di samping itu, pengembangan ekosistem KBLBB di Indonesia diproyeksikan untuk menciptakan 527.477 pekerjaan di industri manufaktur pada 2030 dan meningkat hingga 2 juta pekerjaan pada 2060.
Dalam laporan tersebut menerangkan bahwa kebijakan kendaraan listrik Indonesia mengalami kemajuan besar sejak terbitnya Perpres No. 55/2019 yang mendorong percepatan program KBLBB, termasuk insentif pajak dan standar teknis pengisian daya.
Baca Juga
Sejak saat itu, produsen otomotif global seperti Hyundai, Wuling, hingga BYD dan MG berinvestasi dalam pabrik perakitan KBLBB di Indonesia, sementara produksi baterai dimulai di Karawang lewat kerja sama antara Hyundai dan LG.
Dari sisi permintaan, insentif yang diberikan oleh pemerintah telah meningkatkan penjualan mobil listrik sebesar 153% pada 2024 menjadi 43.188 unit.
Meski penjualan mobil listrik tumbuh dengan pesat, adopsi mobil listrik baru mencapai 5% dari total penjualan mobil, masih jauh di bawah kapasitas produksi dan masih menyisakan tantangan untuk penetrasi KBLBB lebih masif.
Kebijakan insentif KBLBB Indonesia secara umum sejalan dengan negara-negara seperti Malaysia, India, China, dan Norwegia – baik dari sisi penawaran (seperti pembebasan bea impor, insentif manufaktur, dan pengembangan infrastruktur pengisian daya) maupun sisi permintaan (seperti insentif pajak, subsidi harga, dan insentif non-fiskal).
Meski demikian, Indonesia masih memiliki ruang untuk memperkuat kebijakan, seperti menerapkan potongan pajak untuk pembelian mobil listrik oleh perusahaan, baik perusahaan BUMN dan perusahaan swasta, dan kewajiban pembangunan infrastruktur pengisian daya di apartemen-apartemen seperti yang dilakukan di China dan Singapura.
Strategi kuota impor mobil listrik dalam bentuk utuh (CBU) seperti di India juga bisa jadi pertimbangan untuk menjaga daya saing industri otomotif lokal.