Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan RI Masih Perlu Impor Lithium dari Australia

Indonesia masih memerlukan impor lithium dari Australia untuk memperkuat ekosistem industri baterai di Tanah Air, meski RI memiliki potensi sumber dayanya.
Baterai lithium iron phosphate./Bloomberg-Bing Guan
Baterai lithium iron phosphate./Bloomberg-Bing Guan

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai wacana impor lithium dari Australia untuk memperkuat ekosistem industri baterai di Tanah Air masuk akal. Hal ini pun dinilai memberikan dampak positif untuk Indonesia.

Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli menuturkan, Indonesia sejauh ini belum memiliki cadangan lithium. 

Menurutnya, Indonesia baru memiliki hypothetical resources, baik dari batuan seperti spodumen maupun dari cebakan garam. Namun, potensi itu belum diindikasikan sebagai cadangan. 

Cebakan garam adalah istilah geologi yang merujuk pada akumulasi atau endapan garam mineral yang terbentuk secara alami di dalam kerak bumi. Cebakan ini terbentuk melalui proses evaporasi air laut atau danau garam dalam jangka waktu geologis yang sangat panjang.

Rizal menyebut, untuk mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang sudah dicanangkan pemerintah, kebutuhan lithium tersebut harus diimpor dari negara lain. 

Menurutnya, Australia memiliki cukup banyak cadangan lithium sehingga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan ekosistem tersebut.

"Posisi Australia yang lebih dekat ke Indonesia tentu akan memberikan dampak positif terutama untuk biaya transportasi dan kecepatan waktu pengadaannya [lead time]," tutur Rizal kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).

Mengutip data Geoscience Australia, cadangan lithium terbukti (ore reserves) Negeri Kangguru mencapai sekitar 5.051 kiloton lithium (kt Li), setara kurang lebih 5,05 juta ton per Desember 2023. Angka tersebut mewakili ±5% dari cadangan dunia.

Sementara itu, sumber daya terbukti dan terindikasi (EDR) mencapai sekitar 8.440 kt Li atau 8,44 juta ton. Angka itu mencapai sekitar 28 % cadangan dunia.

Meski RI berencana impor lithium dari Australia, Rizal mengatakan, sumber dari negara lain seperti dari negara-negara Afrika juga perlu dijaga. 

"Ini agar sumbernya tidak berasal dari satu sumber. Apabila terjadi hambatan supply di Australia misalnya, bisa didatangkan dari negara lain," imbuh Rizal.

Lebih lanjut, Rizal mengatakan, proses impor lithium dari Australia umumnya dilakukan secara business to business (B2B). Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengaktifkan lagi kegiatan eksplorasi, terutama untuk menemukan sumber daya dan cadangan mineral kritis termasuk lithium.

Selain itu, pemerintah perlu mengaktifkan kegiatan riset dengan serius untuk menghasilkan teknologi pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Hal ini diperlukan agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain, baik dari sisi teknologi maupun biaya. 

"Kita harus mencontoh China dan Korea yang sangat serius dalam hal ini. Sekarang mereka lebih maju dan posisinya di atas Indonesia saat ini," ucap Rizal.

Wacana impor lithium dari Australia sebelumnya diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam acara International Battery Summit (IBS) 2025, Selasa (5/8/2025).

Dia mengatakan, wacana impor itu tak lepas dari visi pemerintah untuk memperkuat ekosistem industri baterai di Tanah Air.

Bahlil menuturkan, pemerintah memberi kesempatan kepada investor untuk ikut membangun ekosistem baterai Indonesia. Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya alam sebagai bahan baku baterai, seperti kobalt, nikel, hingga mangan. 

Namun, dia mengakui Indonesia belum memiliki pasokan lithium, sebagai salah satu bahan baku baterai itu. Untuk itu, Bahlil menyebut, pasokan lithium akan didatangkan dari Australia.

"Mangan-kobalt kalian [investor] bisa dapat. Nah, sekarang kita lagi ada kerja sama dengan Australia untuk kita impor dari negara mereka tentang lithium," ujarnya.

Mantan ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu menyebut, selama ini impor lithium diambil dari negara-negara Afrika. Menurutnya, dengan mengalihkan impor dari Australia, biaya logistik pun bisa ditekan. Pasalnya, jarak antara Indonesia dengan Australia lebih dekat dibanding Afrika. 

"Nah, memang secara ekonomis akan jauh lebih ekonomis dari Australia karena biaya transportasinya ada. Beberapa teman-teman pelaku usaha itu sudah mengambil tambang di sana," tutur Bahlil.

Kendati demikian, Bahlil belum bisa mengungkapkan berapa potensi volume impor lithium dari Australia yang bakal dieksekusi. Sebab, rencana itu masih dalam kajian. 

"Saya belum tahu volumenya berapa karena saya bukan pengusahanya ya," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro