Bisnis.com, JAKARTA – Gas bumi diperkirakan menjadi pilar utama energi Asia Tenggara, dengan kontribusi mencapai 30% dari bauran energi primer pada 2050.
Menurut laporan Wood Mackenzie, permintaan gas bumi diperkirakan akan melampaui minyak dan batu bara. Negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam memimpin pergeseran menuju gas guna mendukung pertumbuhan ekonomi, keamanan energi, serta transisi dari bahan bakar beremisi tinggi.
Laporan Southeast Asia Gas Strategic Planning Outlook yang dirilis Woodmac, memproyeksikan bahwa permintaan gas akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 3,1% hingga 2035.
Kapasitas pembangkit listrik berbasis gas di kawasan ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat, dengan konsumsi diprediksi meningkat sekitar 89,5% dari 2025 hingga 2050.
Kepala Riset Gas & LNG di Wood Mackenzie, Johnson Quadros mengatakan lonjakan permintaan gas bumi didorong oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi di Asean, ekspansi pusat data, mengatasi sifat intermiten energi terbarukan, dan transisi yang sedang berlangsung dari batu bara ke pembangkit listrik berbasis gas.
“Namun, Asia Tenggara menghadapi tantangan untuk memenuhi permintaan ini hanya melalui produksi domestik,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (5/5/2025).
Baca Juga
Asean Jadi Net Importir LNG
Dengan meningkatnya kebutuhan gas bumi, Woodmac memperkirakan Asia Tenggara akan menjadi importir LNG pada 2032, dengan permintaan yang diperkirakan meningkat sekitar 182% selama dekade mendatang.
Pergeseran ini akan menciptakan peluang bagi pemasok LNG, karena Asean diperkirakan menjadi salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat di dunia pada 2050.
Analis Riset Utama Gas & LNG di Wood Mackenzie Raghav Mathur mengatakan seiring meningkatnya permintaan LNG domestik dan meningkatnya kekhawatiran akan keamanan energi, negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, mulai memfokuskan perhatian mereka untuk meningkatkan produksi domestik.
“Ladang-ladang yang baru mulai beroperasi dan penemuan baru diperkirakan akan mempertahankan produksi hingga akhir 2020-an. Sementara volume yang masih perlu ditemukan diproyeksikan akan bisa dimanfaatkan, dan mempertahankan pasokan hingga pertengahan 2030-an,” ujarnya.
Hanya saja, kawasan ini akan menghadapi penurunan produksi alamiah dalam pasokan setelah itu, sehingga eksplorasi wilayah baru serta pengembangan infrastruktur akan menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan pasokan gas di masa depan.
Keterjangkauan akan LNG terus menjadi tantangan dalam pertumbuhan permintaan karena Asia Tenggara beralih ke campuran gas yang didominasi LNG.
Laporan Woodmac ini juga menyoroti bahwa dukungan pemerintah melalui subsidi, insentif pajak, atau kebijakan yang mendukung di seluruh rantai nilai gas dan listrik akan menjadi faktor penting bagi keberhasilan proyek LNG-to-power.
Adanya perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreements atau PPA) untuk proyek-proyek ketenagalistrikan akan menjadi kunci untuk mempertahankan laju pertumbuhan kebutuhan gas di Asean.
Laporan Wood Mackenzie juga menekankan kebutuhan penting terhadap beberapa Floating Storage Regasification Units (FSRU) hingga 2030. Namun, ketidakpastian terkait ketersediaan FSRU dapat menimbulkan risiko terhadap rencana pertumbuhan.
Rantai Pasok Jadi Biang Kerok?
Sementara itu, Indonesia sedang dibayang-bayangi defisit pasokan gas pipa untuk memenuhi kebutuhan industri Tanah Air.
Adapun potensi kekurangan gas sempat diungkapkan oleh PT PGN Tbk (PGAS). Potensi defisit pasokan gas ini khususnya terjadi wilayah Sumatra bagian utara hingga Jawa Barat pada 2025 sampai 2035.
Bahkan, penurunan pasokan itu akan terjadi lebih dalam mulai 2028, khususnya untuk wilayah Sumatra Utara. Wilayah ini bisa kekurangan gas hingga 96 juta kaki kubik standar per hari (MMscfd).
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyoroti masalah supply chain atau rantai pasok gas pipa yang harus dibenahi agar tidak terjadi defisit.
Komaidi menjelaskan, masalah utama potensi defisit adalah konsumsi domestik yang naik. Sementara, produksi di wilayah seperti Sumatra bagian Utara dan Jawa Barat itu mulai turun.
Maklum, energi fosil memang kalau tidak ada pembaruan masti mengalami natural declining. Kendati demikian, menurut Komaidi secara neraca nasional sebenarnya RI memiliki cadangan gas baru.
Namun, cadangan itu berada di wilayah Indonesia Timur. Sementara, potensi defisit terjadi di Indonesia bagian Barat.
"Beberapa cadangan-cadangan yang baru sebagian besar adalah gas. Tapi ada di Indonesia Timur. Mungkin [harus ada] ada mix-match antara kebutuhan gas dengan tempat produksinya atau cadangannya," ucap Komaidi kepada Bisnis dikutip Senin (5/5/2025).
Dengan adanya proyeksi defisit pasokan gas pipa, dikhawatirkan bakal mengerek harga. Pasalnya, dengan pertumbuhan permintaan, pasokan gas pipa bakal digantikan dengan LNG.
"Karena defisit pasokan sementara demand naik, maka harga gas akan semakin tinggi," kata Hadi kepada Bisnis, Kamis (1/5/2025).
Mantan Sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) itu berpendapat, potensi defisit gas di Jawa Barat bisa terjadi karena menurunya pasokan gas dari Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) dan PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Kedua WKP itu selama ini menjadi tulang punggung pasokan di Jawa Barat. Hadi pun menyebut pasokan dari lapangan-lapangan migas di kedua blok tersebut sudah mulai sekitar tahun 1980-an.