Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan kawasan industri (HKI) menyebut tak sedikit investor yang dijanjikan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah untuk industri kecewa lantaran pelaksanaannya tak sesuai.
Ketua Umum HKI Akhmad Maruf mengatakan, pihaknya telah menerima kabar terkait investor yang kecewa karena menerima harga gas dan kuota alokasi gas yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan pemerintah.
"Kekurangan pasokan gas yang membuat para kalangan industri kesulitan karena gas yang ada malah diekspor ke Singapura daripada dipergunakan di kawasan industri dalam negeri," kata Maruf kepada Bisnis, Senin (14/7/2025).
Hingga saat ini, HKI selaku pengelola lahan untuk industri tengah berupaya agar setiap pelaku usaha di kawasan industri bisa mendapatkan HGBT sehingga mampu bersaing dengan produk negara tetangga.
Adapun, pihaknya saat ini terus mendorong pemerintah melalui Kementerian Perindustrian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga Bappenas untuk memastikan pelaku industri tak khawatir dengan sumber energi yang dibutuhkan untuk produksi.
"Tentu tidak mudah tapi kami akan mengawal terus untuk meminta kepada pemerintah kebutuhan gas dalam negeri lebih diperhatikan ketimbang di ekspor ke Singapura," ujarnya.
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM No 76/2025 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu yang berlaku kembali pada Februari 2025.
Dalam aturan tersebut, HGBT diberikan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7 per MMBtu (million British thermal unit) dan untuk bahan baku sebesar US$6,5 per MMBtu.
Terdapat tujuh sektor penerima harga gas bumi tertentu yaitu pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Kendati demikian, sejumlah industri mengaku tak mendapatkan alokasi sesuai yang diberikan.
Untuk itu, HKI menilai kebijakan HGBT ini sangat penting karena jika gas dalam negeri tidak dapat memasok industri nasional dengan harga murah, maka pihaknya mendorong pemerintah untuk membuka keran impor gas.
"Kami harap negara hadir untuk bisa membantu kesulitan industri kami untuk pasokan gas dan kita berharap bisa tetap membuka, sesuai dengan apa yang disampaikan Wamen ESDM [Yuliot Tanjung] pada acara Munas HKI yaitu impor gas dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri sangat mendesak," jelasnya.
Apabila opsi impor gas oleh pelaku usaha HKI tidak bisa diberikan, maka pihaknya mendesak pemerintah agar memberikan HGBT sesuai dengan harga dan kuota yang telah ditetapkan dalam Kepmen tersebut.
Sebelumnya, perusahaan asal Korea Selatan yang berinvestasi di Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) mengungkap tantangan saat mengoperasikan pabrikan di Indonesia, salah satunya persoalan harga gas.
Direktur Government and Public Affairs KCC Glass Indonesia Arintoko Utomo mengatakan, saat pertama berencana berinvestasi di Indonesia, KCC Glass dijanjikan penyewaan lahan dengan izin 80 tahun dan fasilitas lengkap, termasuk HGBT US$6 per MMBtu. Kendati demikian, realisasi saat ini dinilai sangat berbeda.
"Tapi ternyata buat teman-teman investor di Korea ini mengagetkan. Kami tanda tangan MoU tahun 2020, sampai tahun 2024 belum dapat kepastian mengenai supply dan harga gas. Kemudian kami tanda tangan supply gas dengan PGN, yang mengejutkan adalah ternyata kami harus tanda tangan di harga yang sangat tinggi, di harga pasar," tuturnya dalam agenda seminar Munas HKI IX, beberapa waktu lalu.
Saat ini, KCC Glass mendapatkan harga gas senilai US$9,5 per MMBtu atau di atas harga yang dijanjikan sejak awal. Pihaknya mengaku sempat mendapatkan HGBT untuk 2 bulan, kemudian diperpanjang pada 4 bulan berikutnya untuk 5 tahun ke depan.
"Nah, terima kasih untuk KITB yang sudah menyediakan fasilitas pipeline-nya sehingga tepat waktu. Nah, cuma kalau dari kacamata investor ini adalah melihatnya sesuatu yang mengagetkan karena dijanjikannya bagus tapi ternyata ketika tanda tangan harganya lebih tinggi, 50% lebih tinggi dan harus memproses sendiri untuk mendapatkan janji tersebut," jelasnya.
Menurut dia, saat ini investor melihat koordinasi antarkementerian terkait kebijakan di Indonesia harus ditingkatkan guna menjaga kepercayaan investor.