Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah indikator mengindikasikan kondisi ketenagakerjaan Indonesia sedang memburuk. Ambil contoh naiknya jumlah pengangguran, pekerja informal meningkat, hingga turunnya optimisme ketersediaan lapangan kerja.
Kepala Kajian Sosial dan Ketenagakerjaan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Muhammad Hanri menilai semakin buruknya kondisi ketenagakerjaan tersebut bisa menjadi bom waktu untuk pemerintah ke depan.
Dia menilai kondisi tersebut terjadi karena daya serap pasar kerja formal di Indonesia sedang melemah.
"Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum cukup inklusif dalam menciptakan lapangan kerja yang layak dan terlindungi, terutama bagi angkatan kerja baru," ungkap Hanri kepada Bisnis, Jumat (9/5/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena minimnya investasi padat karya, melambatnya pertumbuhan sektor manufaktur, hingga terbatasnya akses pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi kelompok rentan.
Hanri meyakini jika tren negatif itu terus berlanjut maka dampak negatifnya tidak hanya ke sektor perekonomian namun merambah ke persoalan sosial masyarakat.
Baca Juga
"Dari meningkatnya ketimpangan dan potensi kemiskinan atau kerentanan, hingga potensi keresahan di wilayah-wilayah dengan akses kerja yang makin terbatas," jelasnya.
Selain itu, sambungnya, bertambah jumlah pekerja informal mencerminkan semakin banyak tenaga kerja yang belum masuk ke dalam sistem jaminan sosial terutama Jaminan Hari Tua (JHT) dan pensiun. Hanri menekankan bahwa kondisi tersebut akan menimbulkan risiko jangka panjang karena mereka kemungkinan besar tak akan mempunyai perlindungan pendapatan yang memadai saat memasuki usia non-produktif.
Artinya, Indonesia berpotensi menghadapi gelombang lanjut usia yang rentan secara ekonomi. Akibatnya, beban sistem perlindungan sosial di masa depan akan bertambah.
Pelemahan Kondisi Ketenagakerjaan
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap 7,28 juta orang Indonesia menganggur pada Februari 2025. Angka tersebut setara 4,76% dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang.
Bahkan, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan jumlah pengangguran tersebut meningkat apabila periode yang sama tahun lalu.
“Jumlah orang menganggur 7,28 juta orang. Dibanding Februari 2024, per Februari 2025 jumlah orang menganggur meningkat 83.000 orang yang naik 1,11%,” kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Senin (5/5/2025).
Tidak sampai situ, proporsi penduduk yang bekerja pada kegiatan informal juga mengalami peningkatan: dari 59,17% pada Februari 2024 menjadi 59,40% pada Februari 2025.
Lebih lanjut, Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) edisi April 2025 menunjukkan bahwa optimisme ketersediaan lapangan kerja enam bulan ke depan menjadi yang terendah sejak masa pandemi Covid-19.
Dalam survei tersebut, BI menanyakan ekspektasi ketersediaan lapangan kerja kepada responden untuk enam bulan ke depan. Hasilnya, didapati indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja di angka 123,5.
Meski masih berada pada level optimistis (di atas 100), namun angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya yang mana indeks ekspektasi lapangan kerja berada di angka 125,9 pada Maret.
Bahkan, jika ditarik lebih jauh ke belakang maka indeks ekspektasi lapangan kerja sebesar 123,5 pada April 2025 itu menjadi yang terendah sejak September 2021. Saat itu, indeks ekspektasi lapangan kerja hanya sebesar 114,4.
Berdasarkan usia, responden yang berumur di atas 60 tahun menjadi kelompok yang optimisme ketersediaan lapangan kerjanya paling rendah yaitu berada di level 112. Sementara responden dengan rentan umur 20—30 tahun menjadi kelompok usia yang paling optimistis dengan indeks ekspektasi lapangan kerjanya mencapai 125,7.
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden tamatan SMA menjadi kelompok yang paling tidak optimis yaitu berada di level 119,2. Sementara responden tamatan akademi/diploma menjadi yang paling optimis yaitu berada di level 137,8.