Bisnis.com, JAKARTA — Permasalahan pengalihan aset antara Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN dan PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) atau INUKI terus bergulir. Sejumlah pihak terlibat pun dipanggil untuk membahas jalan keluar oleh Komisi XII DPR RI, Kamis (15/5/2025).
Dalam rapat tersebut, Direktur Utama INUKI R Herry menjelaskan, INUKI merupakan satu-satunya perusahaan bidang teknologi nuklir milik pemerintah. Inuki berdiri pada 1996.
Saat itu, INUKI terbentuk dari perusahaan kelolaan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), bernama PT Batan Teknologi. Namun, perusahaan berganti nama menjadi INUKI pada 2014. Perusahaan ini mengembangkan usaha di bidang produksi radioisotop dan radiofarmaka untuk keperluan medis dan industri.
Pada tahun yang sama, INUKI menerima hibah dari Batan berupa pengalihan tiga pusat penelitian yang mempunyai potensi komersial yaitu fasilitas produksi radioisotop dan radiofarmaka, fasilitas produksi elemen bakar nuklir, serta fasilitas jasa teknik. Fasilitas itu berada di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang kini menjadi Science Techno Park Habibie, Serpong, Tangerang Selatan.
Permasalahan muncul ketika BRIN dibentuk dan Batan masuk ke dalamnya pada 2021. Aktivitas INUKI pada fasilitas di lahan Batan yang telah tergabung dalam BRIN itu dilarang lantaran disebut bermasalah.
Diketahui, BUMN yang bergerak dalam industri berbasis teknologi nuklir ini menempati Gedung 10, 60, dan 70, yang masih berada dalam satu Kawasan Nuklir BRIN di Science Techno Park Habibie.
Herry mengatakan, pihaknya telah membayar sewa lahan kepada Batan sebesar Rp7,2 miliar untuk periode 2015-2021. Pada Maret 2022, INUKI diminta oleh BRIN berdasarkan surat kepala BRIN dialihkan ke BRIN. Pengalihan ini khususnya untuk dilakukan proses pelimpahan, pengelolaan limbah sekaligus dekontaminasi, hingga kemitraan.
Namun, pada Agustus 2022, terjadi penutupan paksa gedung kantor INUKI. Seluruh orang yang berada di dalamnya diusir dan dilarang membawa serta barang selain milik pribadi.
"Kami tidak bisa akses ke fasilitas. Sejak Agustus 2022, INUKI itu sudah tidak berproduksi," ucap Herry.
Wacana Alihkan Aset ke BRIN
Dia pun menyebut, akhirnya Kementerian BUMN merestui untuk pengalihan aset ke BRIN sehingga pihaknya melakukan proses.
Adapun, menurut Herry, total aset INUKI mencapai Rp20,9 miliar. Dalam ketentuan pengalihan aset itu, BRIN menyatakan bahwa perlu melakukan pelimbahan di gedung 10, termasuk dekontaminasi dan radioaktif.
"Untuk biaya pelimbahan berkisar Rp70 miliar. Apabila aset dapat dialihkan, maka proses pelimbahan dan dekontaminasi akan menjadi biaya internal BRIN," ucap Herry.
Namun, dia mengatakan, BRIN malah mencabut permohonan pengalihan aset. Menurutnya, hal ini disinyalir karena jumlah aset yang diterima tak sebanding dengan dana yang dikeluarkan untuk dekontaminasi limbah.
"BRIN mencabut semua permohonan pengalihan aset. Jadi hibah yang diterima tidak sebanding dengan biaya dekontaminasi dari BUMN. Padahal seperti dari awal, sudah ada statement dari Pak Kepala BRIN menyatakan bahwa itu akan ada biaya untuk ditanggung oleh BRIN," jelas Herry.
Seiring berjalannya waktu, izin operasi INUKI malah dicabut pada 2023. Perusahaan pun tidak bisa melakukan aktivitas operasional dan akhirnya merugi.
Herry mengatakan, hal ini perlu mitigasi dampak risiko terhadap ekosistem ketenagaan dan ketahanan nuklir sehingga penanganannya harus dilakukan oleh pihak yang mempunyai sumber daya.
"BRIN harus menerima aset sesuai dengan perintah kepala BRIN yang sudah disetujui dan betul-betul badan pelaksanaan nuklir itu bisa melakukan," kata Herry.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, pengambilalihan aset INUKI berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara. Dia menjelaskan, pemilik aset BRIN notabene adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Oleh karena itu, pascapersetujuan pengalihan aset INUKI, pihaknya segera melakukan tindak lanjut dengan menyampaikan proses tersebut kepada Kemenkeu untuk mendapat persetujuan.
Baca Juga
"Kementerian Keuangan itu melihat ada potensi kerugian negara apabila ini dilanjutkan. Karena untuk melakukan proses pelimbahan, pengelolaan limbah sekaligus dekontaminasi, BRIN setidaknya maksimal harus mengeluarkan Rp70 miliar, minimal Rp40 miliar," jelas Handoko.
Berdasarkan pertimbambangan tersebut, pihaknya tak dapat melanjutkan pengalihan aset INUKI.
INUKI Dituding Tak Kompeten
Handoko mengatakan, INUKI tak mampu memenuhi standar keamanan dalam pengelolaan teknologi nuklir. Menurutnya, hal ini berpotensi membahayakan lingkungan dan keselamatan kerja di kawasan, termasuk para periset di BRIN.
"Dan ini tentu akan sangat mempengaruhi kepercayaan publik terkait penanganan nuklir sehingga pada saat itu kami mengusulkan agar segera dilakukan diskusi dan pembenahan, serta kepastian status pemanfaatan oleh Kementerian BUMN bersama kami di BRIN," kata Handoko.
Selain itu, dia menemukan beberapa pelanggaran berat yang dilakukan oleh INUKI terkait pemanfaatan fasilitas. Dia mengatakan, INUKI menunggak biaya sewa lahan yang sampai mencapai beberapa tahun pada saat itu dan telah menjadi temuan PBKRI.
Kemudian, ada pemanfaatan gedung yang tidak sesuai perjanjian dan izin yang diberikan, yaitu berupa pemakaian workshop untuk kegiatan non-nuklir oleh subkontraktor atau pihak ketiga lain tanpa seizin BRIN.
"Termasuk di situ ada karyawan dari subkontraktor yang tidak teregister bisa keluar masuk kawasan yang sebenarnya notabene adalah objek vital nasional. Itulah sebenarnya mengapa pada tanggal 19 Agustus 2022 BRIN sempat melakukan penutupan atas akses aktivitas operasional PT INUKI di Serpong," jelas Handoko.
Dia menambahkan bahwa izin operasional INUKI dicabut oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) pada 2023 lantaran perusahaan tidak mampu memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan perundangan yang ada.
DEN Lakukan Mediasi
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari unsur akademisi Agus Puji Prasetyono menuturkan, pihaknya melakukan mediasi antara BRIN dan INUKI pada 2 Mei 2025 lalu.
Dia menekankan bahwa dalam hasil rapat itu, pengelolaan dan pengawasan limbah radioaktif secara ketat harus dilaksanakan sesuai peraturan perundangan-perundangan.
Kemudian, INUKI diminta melakukan kajian komprehensif terkait dengan rencana penyehatan perusahaan ke depan. Selanjutnya, BRIN perlu mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk pengelolaan limbah radioaktif.
"Apabila BRIN tidak menerima penugasan dari pemerintah maka PT INUKI menanggung biaya pengelolaan limbah INUKI berdasarkan hasil kesepakatan yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," jelas Agus.
Tak ketinggalan, dia juga mengingatkan para pihak harus segera mengambil langkah-langkah penyelesaian untuk mengantisipasi bahaya radiasi limbah radioaktif yang beresiko sangat tinggi.
DEN pun lantas memberikan rekomendasi menynongsong pembangunan pembagkit listrik tenaga niklir atau PLTP di Indonesia.
Menurut Agus, untuk menyelesaikan masalah INUKI dan BRIN terdapat dua opsi. Pertama, apabila BRIN menerima pengelolaan aset INUKI serta INUKI tetap melaksanakan kewajibannya terkait perlimbahan dan dekontaminasi harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, INUKI tetap melanjutkan pengoperasian aset untuk kegiatan pengusahaan di bidang ketenaganukliran. Dalam hal ini INUKI harus melaksanakan kewajiban perlimbahan dan dekontaminasi.
"INUKI agar dapat melaksanakan proses bisnis yang aman dan berkelanjutan perlu memperoleh alokasi lahan khusus di area aset INUKI saat ini yang terpisah dari kawasan Kompleks Sains dan Teknologi Science Techno Park Habibie Tangerang Selatan," kata Agus.