Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan skema pendanaan transisi energi antara PT PLN (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum selaras. Hal ini berisiko menambah beban negara hingga Rp489 triliun pada 2025—2040.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan transisi energi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) belum didukung strategi pendanaan yang memadai.
BPK mengungkapkan, perbedaan atau ketidakselarasan skenario transisi energi antara PLN dan Kementerian ESDM ditunjukkan pada perbedaan target penambahan kapasitas pembangkit dan skema sistem kelistrikan.
Hal ini juga tercermin dari tidak tercapainya target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2023. Adapun, realisasi bauran energi pada tahun tersebut hanya mencapai 13,09%.
Menurut BPK, perencanaan kapasitas pembangkit Green Enabling Super Grid memengaruhi biaya investasi yang akan dikeluarkan oleh PLN.
Perencanaan biaya investasi tersebut, bersamaan dengan perencanaan produksi tenaga listrik akan memengaruhi biaya pokok produksi (BPP) tenaga listrik yang juga berdampak pada kenaikan tarif atau beban subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Selain itu, dukungan strategi pendanaan belum memitigasi kenaikan interest bearing debt. BPK mencatat permasalahan ini dapat menghambat pemenuhan target transisi energi dan berpotensi meningkatkan interest bearing debt yang berasal dari bunga pinjaman, menjadi sebesar Rp824 triliun atau melebihi batas aman Rp500 triliun.
"Serta meningkatkan beban subsidi dan kompensasi listrik mencapai Rp489 triliun pada tahun 2025-2040, jika tidak didukung strategi pendanaan yang baik," demikian tulis II-2024 dikutip Rabu (28/5/2025).
BPK menyebut, hal ini mengakibatkan target pelaksanaan transisi energi pada Enhanced National Determined Contribution (ENDC) dalam hal mencapai penurunan emisi di sektor energi berisiko tidak tercapai sesuai rencana.
Pasalnya, skenario transisi energi yang selaras antara PLN dengan Kementerian ESDM belum terjadi. Selain itu, belum ada strategi pendanaan yang memadai.
Oleh karena itu, BPK pun telah merekomendasikan kepada Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo agar berkoordinasi lebih proaktif dengan Kementerian ESDM. Ini khususnya untuk sinkronisasi dan penetapan kebijakan skenario transisi energi serta memasukkannya ke dalam dokumen perencanaan.
Adapun, dokumen itu yaitu RUPTL/Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)/Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).
BPK juga merekomendasikan PLN untuk mengembangkan dan menyusun strategi pendanaan yang komprehensif dalam dokumen perencanaan tersebut.
"Dengan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kesehatan keuangan PLN, serta meminimalkan kenaikan beban subsidi dan kompensasi," kata BPK.
BPK Sebut Transisi Energi Tak Sinkron Bisa Bebani Negara Rp489 Triliun
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan transisi energi yang belum selaras berisiko menambah beban negara hingga Rp489 triliun pada 2025—2040.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

17 jam yang lalu
Katalis Emiten Properti Bumi Serpong Damai (BSDE) usai Laba Susut
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru

32 menit yang lalu
Tarif Trump Dijegal Pengadilan AS, Bagaimana Nasib Negosiasi RI?

2 jam yang lalu
Pengusaha RI Perkuat Kemitraan Bisnis Keluarga dengan Prancis
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
