Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pakar Fiskal UI: Badan Penerimaan Negara Tak Akan Berhasil Tanpa Perbaikan Mendasar

Reformasi kelembagaan untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia harus dibarengi dengan perbaikan mendasar dalam sistem administrasi perpajakan.
Ilustrasi penerimaan negara./ Bisnis - Arief Hermawan P
Ilustrasi penerimaan negara./ Bisnis - Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Ning Rahayu menilai pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) tidak akan cukup mendorong peningkatan rasio pajak tanpa disertai perbaikan mendasar dalam sistem perpajakan nasional.

Ning menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki rasio pajak terendah di kawasan Asia Tenggara (Asean), meskipun tren penerimaan negara terus meningkat sejak 2021.

"Praktik aggressive tax avoidance makin canggih. Aturan kita belum cukup untuk melawan strategi perusahaan multinasional, bahkan ada PMA yang 10 tahun tidak bayar pajak,” ungkap Ning dalam diskusi Masa Depan Fiskal Indonesia: Apakah BPN Solusinya? di Gedung IKPI, dikutip Minggu (1/6/2025).

Perempuan peraih Satya Lencana Karyasatya itu mencontohkan Korea Selatan yang berhasil membentuk Korean National Tax Service (KNTS) pada 2000. Dia menilai reformasi kelembagaan di Korea Selatan itu berhasil karena dilakukan seluruh menyeluruh dengan konsolidasi lembaga pajak, penguatan hukum, dan modernisasi sistem berbasis digital.

“KNTS dibentuk bukan hanya untuk mengumpulkan pajak, tapi juga untuk melayani, membimbing, dan mengedukasi wajib pajak,” jelasnya.

Oleh sebab itu, dia meyakini reformasi kelembagaan untuk meningkatkan rasio pajak di Indonesia harus dibarengi dengan perbaikan mendasar dalam sistem administrasi perpajakan, penguatan sumber daya manusia, serta peningkatan keadilan dan transparansi fiskal.

Ning mencatat, hasil studi OECD dan berbagai literatur internasional menunjukkan bahwa banyak reformasi perpajakan di dunia yang gagal karena tidak diikuti restrukturisasi administrasi pajak yang permanen dan manajemen SDM yang mumpuni.

Dia menekankan prinsip-prinsip dasar bagi pembentukan lembaga pengelola pajak adalah struktur yang jelas, spesialisasi dan koordinasi yang baik, komitmen terhadap pelayanan publik, fleksibilitas, pengawasan internal, penggunaan teknologi informasi, dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan.

“Kalau kita mau bentuk BPN [Badan Penerimaan Negara], pastikan bukan hanya tukar nama. Pastikan manusianya siap, sistemnya kokoh, dan masyarakat ikut dilibatkan,” tutupnya.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menilai pembentukan Badan Penerimaan Negara bisa menjadi solusi dari fragmentasi fiskal di Tanah Air.

Vaudy menyoroti kelemahan struktur fiskal nasional dengan banyak instansi yang memiliki kewenangan mengumpulkan penerimaan negara baik dari sisi perpajakan maupun non-pajak seperti adalah Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, serta kementerian/lembaga lain yang mengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Dia mencatat bahwa saat ini terdapat lebih dari 20 instansi negara yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengumpulan penerimaan negara, termasuk sektor-sektor strategis seperti sumber daya alam, pendidikan, transportasi, dan pelayanan publik.

“Fragmentasi fiskal menyebabkan tumpang tindih kebijakan, lemahnya koordinasi, serta inefisiensi dalam pengelolaan penerimaan negara. Badan Penerimaan Negara dapat menjadi solusi institusional untuk menyederhanakan struktur,” ujar Vaudy pada kesempatan yang sama.

Dia memaparkan empat model institusional yang umum digunakan negara-negara di dunia dalam mengelola penerimaan negara. Pertama, Government Department seperti yang dianut Indonesia saat ini, yang mana unit-unit penerimaan berada langsung di bawah kementerian namun kurang memiliki otonomi manajerial dan strategis.

Kedua, Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA) seperti di Kenya dan Tanzania, dengan otonomi terbatas namun lebih fokus dalam tata kelola. Ketiga, Autonomous Revenue Authority (ARA) seperti Malaysia dan Afrika Selatan, dengan keleluasaan tinggi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya.

Keempat, Integrated Revenue Authority (Model Gabungan dan Digitalisasi Tinggi) yang diadopsi oleh negara-negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Australia. Model ini menggabungkan seluruh jenis penerimaan negara termasuk pajak, bea cukai, dan PNBP ke dalam satu institusi.

Vaudy pun menyarankan agar Indonesia mempertimbangkan dan mengadopsi model-model yang sudah ada dan menambahkan model sesuai dengan kebutuhan pemerintah Indonesia.

Adapun, pembentukan Badan Penerimaan Negara merupakan salah satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto. Bahkan, pembentukan BPN telah masuk dalam Program Prioritas RPJMN 2025–2029 yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025. 

PNBP diyakini bisa meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 23%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper