Bisnis.com, JAKARTA – Aktivitas manufaktur di berbagai negara di Asia mengalami kontraksi pada Mei 2025 akibat tekanan tarif Amerika Serikat dan ketidakpastian kebijakan perdagangan global yang mengikis permintaan ekspor.
Melansir Bloomberg, Senin (2/6/2025), data S&P Global menunjukkan penurunan pesanan ekspor baru di Vietnam selama tujuh bulan berturut-turut. Taiwan mencatat penurunan output dan penjualan ekspor untuk bulan kedua, sementara Indonesia mengalami penurunan pesanan baru terdalam sejak Agustus 2021.
Sementara itu, Korea Selatan melaporkan kontraksi output terbesar dalam hampir tiga tahun.
Indeks manajer pembelian atau (PMI) manufaktur di Vietnam, Indonesia, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan seluruhnya berada di bawah level 50, yang menunjukkan aktivitas tengah terkontraksi.
Untuk diketahui, angka PMI di atas 50 menujukkan adanya ekspansi, sedangkan angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Adapun aktivitas manufaktur di Filipina tetap tumbuh, meski dengan laju yang lebih lambat.
Pelemahan ini terjadi di tengah ketegangan dagang yang meningkat setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan rencana penggandaan tarif impor baja dan aluminium, serta menuduh China melanggar kesepakatan penurunan tarif yang sebelumnya telah dicapai.
Baca Juga
China membalas dengan mengecam tuduhan tersebut dan menuduh AS memperkenalkan aturan baru yang diskriminatif.
Gubernur Bank Sentral Korea Selatan Rhee Chang-yong menekankan bahwa dampak kebijakan tarif AS terhadap Asia sangat signifikan, terutama melalui hubungan tidak langsung dengan China dalam rantai pasok regional.
“Dampak tidak langsung melalui China sangat penting karena keterkaitan kami dalam rantai pasok global,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg.
Tarif “Hari Pembebasan” yang sempat ditolak pengadilan AS kini kembali berpotensi diterapkan setelah berhasil diajukan banding. Jika berlanjut, tarif tersebut akan mencapai level tertinggi dalam satu abad pada bulan depan.
S&P Global menyebut bahwa ketidakpastian tarif membuat banyak klien menunda pemesanan, menekan permintaan dan menyebabkan pengurangan tenaga kerja serta pembelian bahan baku di Taiwan dan negara lain.
Data bulan Mei mencerminkan tren pelemahan setelah lonjakan ekspor pada April, ketika pelaku industri bergegas mengirimkan barang selama masa jeda tarif 90 hari yang diumumkan Trump. Namun, data bea cukai Korea Selatan menunjukkan ekspor ke AS turun 8,1% pada Mei.
Ke depan, stabilitas sementara dari jeda tarif dan negosiasi terbatas dengan China dan Inggris membuka kemungkinan pemulihan moderat, terutama bagi produsen seperti Vietnam yang menyuplai pakaian, alas kaki, dan komponen ponsel pintar.
Manufaktur RI
Tren kontraksi PMI manufaktur Indonesia terus berlanjut pada Mei 2025 yang tercatat di level 47,4 atau masih di bawah ambang batas normal yakni 50. Namun, angka ini meningkat dibanding bulan sebelumnya sebesar 46,7.
Berdasarkan laporan S&P Global, sektor manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan pada pertengahan menuju triwulan kedua dipicu turunnya output dan permintaan baru yang terus melemah sejak April lalu.
Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti mengatakan, penurunan permintaan pesanan baru pada Mei 2025 merupakan kondisi terparah dalam waktu hampir 4 tahun terakhir yag menyebabkan anjloknya volume produksi.
Kinerja ekspor juga disebut terus menurun, sementara perusahaan manufaktur nasional masih berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian menanggapi kondisi permintaan yang lemah.
“Beberapa produsen berupaya menawarkan diskon untuk menaikkan penjualan, menyebabkan kenaikan kecil pada biaya meski beban biaya naik,” ujar Bhatti dalam keterangan resminya, Senin (2/6/2025).
Kendati demikian, jika melihat tingkat keyakinan pengusaha disebut masih menguat lantaran perkiraan output produksi yang masih menguat dan upaya menyerap tenaga kerja.