Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Ingatkan Dampak Perang Dagang China-AS ke Ekonomi RI

Perang dagang China dan AS yang berkepanjangan bisa memberikan dampak terhadap perekonomian dan industri Indonesia.
Truk kontainer melintas di antara tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (3/6/2025). Bisnis/Arief Hermawan P
Truk kontainer melintas di antara tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (3/6/2025). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Chairman of Indonesia Roundtable of Young Economists Fakhrul Fulvian mengungkap potensi dampak perang dagang yang berkepanjangan terhadap perekonomian dan industri Indonesia.

Fakhrul menuturkan dampak perang dagang China-AS yang telah terlihat di Indonesia saat ini salah satunya adalah tersendatnya aliran modal asing yang masuk. Selain itu, dampak perang dagang juga telah terlihat dari indikator lain seperti menyempitnya surplus perdagangan, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan lainnya. 

Fakhrul menuturkan, jika perang dagang ini berkepanjangan, sektor ekonomi lain yang akan terdampak di Indonesia adalah di sisi industri. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus segera merespons ketidakpastian perang dagang ini dengan mengembangkan beragam industri unggulan di dalam negeri.

"Kita harus punya industri-industri pada bidang yang Indonesia memang punya keunggulan kompetitif. Contohnya, di mineral kritis seperti nikel, tembaga, dan lainnya harus kita percepat bagaimana supaya hilirisasinya berjalan optimal," jelas Fakhrul dalam Soemitro Economic Forum di Jakarta, Rabu (4/6/2025).

Fakhrul yang juga merupakan Chief Economist Trimegah Sekuritas mengatakan, pengembangan industri yang optimal dapat menjadi pijakan bagi Indonesia untuk menghadapi volatilitas global.

Dia menambahkan, proses hilirisasi juga akan menekan potensi deindustrialisasi yang belakangan mulai terjadi di negara-negara lain.

"Ini akan jadi wake up call karena kita habis ini mungkin akan kesulitan mengimpor barang dengan trade war yang berkepanjangan. Saya harap, kebijakan industrialisasi seperti hilirisasi itu mudah-mudahan bisa dipercepat," kata Fakhrul.

Sebelumnya, Tren kontraksi Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia terus berlanjut pada Mei 2025 yang tercatat di level 47,4 atau masih di bawah ambang batas normal yakni 50. Namun, angka ini meningkat dibanding bulan sebelumnya sebesar 46,7.

Berdasarkan laporan S&P Global, sektor manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan pada pertengahan menuju triwulan kedua dipicu turunnya output dan permintaan baru yang terus melemah sejak April lalu.

Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti mengatakan, penurunan permintaan pesanan baru pada Mei 2025 merupakan kondisi terparah dalam waktu hampir 4 tahun terakhir yang menyebabkan anjloknya volume produksi.

Kinerja ekspor juga disebut terus menurun, sementara perusahaan manufaktur nasional masih berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian menanggapi kondisi permintaan yang lemah.

“Beberapa produsen berupaya menawarkan diskon untuk menaikkan penjualan, menyebabkan kenaikan kecil pada biaya meski beban biaya naik,” ujar Bhatti dalam keterangan resminya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper