Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag, kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya menuai polemik lantaran dinilai merusak lingkungan. Pun, pemerintah belum satu suara dalam menyoroti perkara tersebut.
Permasalahan tambang nikel di 'surga terakhir dari timur' itu pun menyedot perhatian publik. Sampai-sampai, Presiden Prabowo Subianto pun memberikan atensi khusus.
Walhasil, tiga kementerian sekaligus turun ke lapangan untuk melakukan peninjauan. Tiga kementerian itu, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Hasil evaluasi di lapangan mengungkapkan bahwa terdapat lima perusahaan yang menjalankan usaha pertambangan di Kabupaten Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Nurham.
Dua perusahaan memperoleh izin dari pemerintah pusat, yaitu PT Gag Nikel dengan izin operasi produksi sejak 2017 dan ASP dengan izin operasi produksi sejak 2013. Sementara itu, tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari pemerintah daerah (bupati Raja Ampat), yaitu MRP dengan IUP diterbitkan pada 2013, KSM dengan izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan pada 2013 dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada 2025.
Menurut Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, hanya satu perusahaan yang berproduksi di kawasan Raja Ampat, yakni PT Gag Nikel. Sementara itu, empat sisanya masih dalam tahap eksplorasi.
Baca Juga
Adapun, kelima izin perusahaan itu saat ini telah ditangguhkan hingga proses evaluasi rampung. Kelak, hasil evaluasi tim di lapangan akan menjadi dasar kebijakan dan keputusan lebih lanjut.
“Untuk sementara kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan, kami akan cek. Nah, apapun hasilnya nanti kami akan sampaikan setelah cross-check lapangan terjadi,” kata Bahlil saat ditemui di Kantor ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Beda Suara ESDM dan KLH
Kendati demikian, para pembantu Prabowo beda suara dalam melihat permasalahan tambang nikel di Raja Ampat itu. Kementerian ESDM menilai operasional tambang nikel di Raja Ampat, khususnya PT Gag Nikel, berjalan sesuai prinsip keberlanjutan dan tata ruang daerah.
Sementara itu, KLH menilai kegiatan pertambangan di Raja Ampat melanggar azas lingkungan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menyebut, berdasarkan pantauan udara menunjukkan tidak ada sedimentasi signifikan di sepanjang pesisir Raja Ampat. Oleh karena itu, dia menilai secara umum, tambang PT Gag Nikel dalam kondisi baik.
"Bukaan lahan tambang ini tidak terlalu luas. Dari total 263 hektare, 131 hektare sudah direklamasi, dan 59 hektare di antaranya telah dinyatakan berhasil menurut penilaian reklamasi. Jadi sebenarnya tidak ada masalah besar di sini," ujar Tri.
Meski demikian, Tri sudah menurunkan tim Inspektur Tambang, untuk melakukan inspeksi di beberapa wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Raja Ampat dan mengevaluasi secara menyeluruh untuk selanjutnya memberikan rekomendasi kepada menteri ESDM untuk melakukan eksekusi keputusannya.
Dia juga menegaskan, keberadaan PT Gag Nikel di Raja Ampat sepenuhnya berjalan sesuai kerangka hukum dan tata ruang daerah. Tri menyebut, awalnya beroperasi di bawah skema kontrak karya (KK), Gag Nikel termasuk salah satu dari 13 KK yang oleh Undang-Undang Kehutanan dikecualikan dari larangan aktivitas di hutan lindung.
Berbeda dengan ESDM, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menilai pertambangan nikel di Raja Ampat melanggar aturan lingkungan dan tata kelola pulau kecil. Dia pun akan meninjau persetujuan lingkungan PT Gag Nikel, KSM, ASP, dan MRP.
Menurutnya, keempat perusahaan itu berada di pulau kecil. Hal ini bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"Dalam waktu tidak begitu lama, kami akan ke sana lapangan, kami ingin tahu tingkat kerawanan dan pencemaran lingkungan, persetujuan lingkungan itu ada 3 kementerian, Kementerian ESDM, KKP, dan Lingkungan Hidup," ucapnya.
Dia memerinci, PT Gag Nikel melakukan pembukaan lahan di luar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan telah memiliki persetujuan teknis Baku Mutu Air Limbah (BMAL) untuk pengelolaan air larian. Namun, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam) itu belum melakukan pembuangan ke lingkungan karena belum memiliki sertifikat laik operasi (SLO).
Seluruh air limpasan dikelola menggunakan sistem drainase di sepanjang jalan tambang, sump pit, dan kolam pengendapan dengan kapasitas yang besar sehingga cukup untuk menampung seluruh air larian dari area kegiatan. Pemeriksaan pada seluruh badan air di sekitar kegiatan PT Gag Nikel, baik rawa, dermaga, maupun sungai, dalam keadaan jernih.
"Temuan lapangan hanya berskala minor, yakni tidak melakukan pemantauan terhadap keanekaragaman plankton pada air sungai," kata Hanif.
Sementara itu, MRP ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele sehingga seluruh kegiatan eksplorasi dihentikan. Perusahaan memulai kegiatan eksplorasi pada tanggal 9 Mei 2025 di area Pulau Batang Pele Kabupaten Raja Ampat dengan membuat sejumlah 10 mesin bor coring untuk pengambilan sampel coring.
Namun, pada saat verifikasi lapangan, hanya ditemukan area camp pekerja eksplorasi di area MRP. KLH telah mengenakan sanksi administrasi paksaan pemerintah dan denda administratif atas pelanggaran melakukan kegiatan tanpa persetujuan lingkungan.
Selanjutnya, untuk KSM terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektare di Pulau Kawe. Aktivitas tersebut telah menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai.
Selain itu, di wilayah KSM ditemukan dugaan terjadinya sedimentasi pada akar mangrove yang diduga berasal dari areal stockpile, jetty dan sedimentasi di area outfall sediment pond Salasih dan Yehbi.
Sedangkan untuk ASP, perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal China itu diketahui melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas 746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengolahan air limbah larian.
Hal ini terbukti pada saat dilakukan pengawasan ditemukan kolam settling pond jebol akibat curah hujan tinggi. Dari visual menggunakan drone terlihat pesisir air laut terlihat keruh akibat sedimentasi.
KLH pun akan mengevaluasi persetujuan lingkungan atas adanya kegiatan pertambangan di Pulau Manuran yang memiliki luas 746,88 hektare yang tergolong Pulau Kecil.
Perlu Evaluasi Menyeluruh
Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli mengatakan, tidak dibenarkan adanya kegaitan tambang di kawasan konservasi. Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh.
"Yang harus dilakukan pemerintah dalam polemik ini adalah melakukan evaluasi menyeluruh untuk melihat apakah ada hal-hal yang dilanggar atau tidak sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik," kata Rizal kepada Bisnis.
Bagaimanapun, kata dia, kawasan konservasi, baik laut maupun darat, harus dijaga dan dilestarikan.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendorong pemerintah melakukan evaluasi total dan moratorium izin tambang di kawasan Raja Ampat.
Menurutnya, selain masalah lingkungan dan hilangnya nilai karbon, pertambangan yang terlalu meluas dan ekspansif berisiko tinggi terhadap hilangnya pendapatan masyarakat lokal jangka panjang. Ini khususnya di sektor pertanian dan perikanan.
"Kalau pemerintah pusat serius bisa segera bentuk tim moratorium izin tambang, baik nikel dan galian C, berkoordinasi dengan akademisi independen dan kepala daerah," ucap Bhima.
Dia berpendapat, selama ini banyak pemerintah daerah merasa ekspansi tambang tidak banyak membantu pendapatan daerah, sementara biaya kerusakan tetap timbul dan biaya kesehatan membengkak imbas kerusakan lingkungan.
Bhima pun mengingatkan Kementerian ESDM untuk tidak membela perusahaan tambang. Menurutnya, Kementerian ESDM harus memikirkan konservasi sumber daya alam jangka panjang.
Pasalnya, efek ke branding nikel Indonesia di pasar internasional bisa terdampak oleh pengelolaan tambang yang bermasalah.
"Masalah Raja Ampat cuma puncak gunung es aktivitas pertambangan di pulau kecil. Pada saat memberi izin, yang namanya pulau kecil tidak boleh ditambang. Tapi ini kan dibiarkan terus menerus sampai menjadi perhatian publik," tutur Bhima.